Sejujurnya aku tak tahu harus memulai dari mana. Rentetan kejadian ini masih begitu membekas dalam hati, lukanya masih menyayat begitu pilu dalam ingatan. Namun, hati kecilku berkata: aku harus berkisah, agar para perempuan luar sana -istri yang terluka karena suaminya- merasa bahwa ia tak seorang diri. Aku bisa memahami perasaan mereka, aku sendiri telah mengalaminya.

Pernikahan kami diawali dengan begitu indah. Putri-putri kami melengkapi kebahagiaan di rumah tangga ini. Kami bahagia. Dan kebahagiaan itu memuncak saat kami diberikan seorang putra, yang juga lama dinantikan oleh keluarga besar. Keluarga kami seperti jadi makin sempurna. Namun, bukan demikian kenyataannya; tanpa kuduga pernikahan ini tengah menuju ambang kehancuran.

Suamiku Mulai Berubah

Satu bulan setelah melahirkan si bungsu, aku merasakan perubahan pada dirinya. Ah, mungkin hormon ini sedang berulah dan membuatku lebih sensitive; mungkin juga baby blues. Aku masih menyangkal, berusaha berpikir positif. Dan semuanya kecurigaan akan gelagat anehnya itu tersingkirkan oleh kesibukan merawat si kecil.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, dia mulai sering bercerita tentang seorang rekan perempuan di kantornya. Dia merasa rekan ini sangat membantunya. Dia bahkan bercerita ketika si rekan ini berkeluhkesah dan menunjukkan tanda-tanda akan berhenti; dia bahkan menghiburnya agar kembali menemukan semangat bekerja. Kupikir tak ada yang salah dengan curhatnya, mungkin pekerjaan di kantor memang sedang banyak. Aku malah mendukungnya, memiliki rekan yang bisa diajak bekerja sama tentu akan mendukung kariernya.

Curhatan suami tentang pekerjaan dan si rekan ini terus berlanjut. Aku berusaha mendukung dengan mendengarkan keluh kesahnya; hanya itu yang bisa kulakukan untuk menolongnya melepas stress. Relasinya dengan si rekan juga makin dekat, mereka bahkan sering ngobrol via telepon selepas jam kantor. Durasi telepon mereka pun makin panjang. Kata suami, rekannya mengalami masalah keluarga yang pelik; ia harus mengurus suami dan anaknya, juga mengurus keluarga lain yang sedang dalam konflik. Dalam hati, aku merelakan suami menyediakan waktu untuk rekannya, ia memang sedang perlu ditolong.

Tak Lagi Manis, Makin Dingin dan Sering Marah

Hari ulang tahun pernikahan kami tiba. Anehnya bukan bersikap manis seperti biasa, suami malah menjadi makin dingin dan sering marah padaku; emosinya sering meledak. Kalau biasanya suami mengantarku ke tempat kerja sebelum ia menuju kantornya, beberapa kali ia seperti terbebani. Sekali aku memintanya menunggu 5 menit saja untuk menyiapkan kebutuhan anak untuk hari itu, ia begitu marah dan pergi begitu saja. Kali berikutnya ia tak banyak bicara, dan meninggalkanku tanpa penjelasan. Alhasil aku harus mencari tumpangan dari teman kerja lain atau jika terpaksa menggunakan jasa driver online.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here