Dilansir dari detik.com, di Bandung ada jasa sewa pacar dengan rincian harga paket yang bermacam-macam. Mulai dari jadi teman ngobrol, curhat, hingga jadi teman nongkrong atau ke kondangan bersama. Semua telah diatur dengan harga sesuai kantong kawula muda. Misalnya, partner curhat dipatok seharga Rp 500,- per menit; partner makan Rp. 50.000,- (belum termasuk makanan); atau partner acara Rp. 300.000,- untuk tiap even.

Di negara Jepang, jasa sewa pacar –atau rentaru kareshi/rentaru kanojo– adalah hal yang biasa. Seorang laki-laki atau perempuan akan dibayar untuk berperan sesuai dengan kebutuhan yang diminta selama jangka waktu yang disepakati. Semua dilakukan secara profesional sebagaimana bisnis jasa dijalankan. Tidak ada aktivitas aneh-aneh yang bersifat seksual sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku. Penyewa tidak boleh meminta ciuman atau bercinta; mereka hanya diizinkan sebatas berpegangan tangan atau pelukan. Penyewaan jasa sewa pacar di Jepang telah diiklankan lebih dari 5.000 kali di beberapa stasiun televisi.

Banyak orang menilai jasa sewa pacar ini sebagai hal yang baik. Banyak orang merasa terbantu dengan kehadiran “pasangan”, meskipun hanya sewaan. Dan sekalipun hanyaa sewaan, pelayanan mereka begitu profesional hingga membuat si penyewa merasa sedang berhadapan dengan pacar sungguhan. Tak sedikit juga yang dapat mengembangkan kemampuan sosial (social skill) mereka berkat jasa sewa pacar ini.

Fenomena jasa sewa pacar ini memang menarik. Namun, di balik “kebaikan” yang ditawarkan, tersimpan setidaknya tiga pelajaran penting berikut ini.

1. Kesepian

Menurut penelitian, rasa kesepian sama mematikan bahkan lebih berbahaya dari narkoba. Sebab rasa ini menyangkut kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Bahkan seorang yang paling introver pada dasarnya tetap membutuhkan seorang teman untuk berbagi hidup.

Kebutuhan inilah yang ditangkap oleh para pembuka jasa sewa pacar. Banyak orang kesepian dan membutuhkan seorang teman. Salah satu tujuan jasa sewa pacar di Jepang adalah untuk mengusir rasa sepi. Di Jepang banyak ditemukan fenomena kadokushi atau mati karena kesepian; seseorang telah meninggal lama di rumahnya namun baru ditemukan beberapa waktu kemudian. Hal ini terjadi akibat tidak memiliki keluarga atau orang yang mempedulikannya.

Di Indonesia sendiri, berbagai masalah pribadi akibat kesepian bermunculan di masa pandemi. Ketika orang-orang harus menjalani pembatasan sosial, muncul kebutuhan sosial yang besar. Rasa kesepian menjerat banyak orang karena harus terpisah dengan keluarga atau bahkan menjadi sendiri karena keluarga yang meninggal akibat Covid-19. Sebagian lain mengalami kesepian karena tidak memiliki teman curhat atau teman jalan yang bisa dipercaya.

Ozzy, salah satu sumber yang diwawancara detik.com, awalnya menekuni jasa sewa pacar untuk mendapat penghasilan tambahan. Namun, setelah menjalani “profesi ini”, ia melihat banyak penyewa yang menggunakan jasanya untuk memiliki teman, karena mereka kesepian.

Pertanyaannya, apakah dengan adanya jasa sewa pacar ini rasa kesepian yang dialami oleh orang-orang benar-benar dapat terselesaikan? Ataukah justru melahirkan keresahan lainnya?

2. Tekanan Sosial dan Perasaan Insecure

Ketika memasuki usia 20an, hampir dipastikan orang-orang akan menerima pertanyaan yang meresahkan. Seperti, “Kok masih jomlo?” atau “Kapan nikah?” dan banyak pertanyaan sejenis lainnnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seolah-olah menempatkan mereka yang masih lajang sebagai orang yang belum utuh dan hidupnya menyedihkan. Padahal keputusan untuk hidup melajang, sama halnya dengan keputusan untuk menikah, adalah bagian dari hak seorang sebagai manusia. Seorang yang hidup melajang bisa saja sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here