Dubai. Siang hari. Bersama istri saya sedang transit hampir seharian. Daripada bengong, saya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan yang—seperti kota metropolitan lainnya—multietnis. Tiba-tiba seorang ibu mendatangi kami dan menitipkan bayinya yang ada di baby stroller. Rupanya dia mau ke kamar kecil. Dengan senang hati isteri saya menerima kepercayaan ini.
Setiba di tanah air, saya mendapatkan pesan dari WAG agar berhati-hati jika dititipi anak di pusat keramaian. Alasannya, bisa jadi kami dijadikan sasaran pemerasan. Orang yang menitipkan bayinya bisa menuduh kita menculik bayi. Agar persoalan selesai, ada uang damai yang harus kita bayarkan. Seandainya saya membaca pesan WAG ini sebelum mendapat dititipi bayi, bisa jadi kami akan lebih berhati-hati. Namun, faktanya ibu yang menitipkan anak itu ke istri saya kembali dengan senyum ramah dan ucapan terima kasih. Kami senang dipercaya orang asing di negara asing pula.
“Tante Ayu bukan Cina, ya?”
Pertanyaan polos Amanda (Widuri Puteri) itu dilontarkan ke Tante Ayu (Adinia Wirasti) yang merupakan istri Yohan (Dion Wiyoko), kakak Erwin (Ernest Prakasa). Meskipun sempat menunjukkan ekspresi kaget dari Ayu, isteri Yohan itu kembali ke ekspresi semula.
Pertanyaan Amanda itu seolah menjadi ganjalan bagi kita yang tidak ingin rasisme tumbuh bak jamur di musim hujan saat ini. Meskipun begitu, ucapan Amanda bisa mewakili sebagian orang yang merasa ‘aneh’ saat dua orang yang berbeda ras menikah. Bagi Ayu pertanyaan polos remaja cantik ini bisa jadi mengingatkannya kepada penolakan Ko Afuk (Chew Kin Wah) karena tokonya pernah dijarah saat kerusuhan Jakarta.
Mbak Ayu yang mengalami trauma hebat saat ibunya menyalahkan dirinya saat sang suami meninggalkannya tidak ingin punya anak. Trauma susah untuk disembuhkan. Demikian juga penyakit rasisme. Pengalaman yang bertolak belakang—seperti begitu baik dan setianya Mbak Ayu kepada Yohan sehingga Ko Afuk luluh—bisa menjadi obat yang mujarab itu virus yang satu ini.
Saat Perjanjian Pranikah Dirobek-robek
Film Cek Toko Sebelah 2 yang tayang sejak 22 Desember lalu memang sarat pesan baik moral maupun spiritual. Cek Toko Sebelah yang memang diilhami oleh perjalanan Ernest Prakasa sendiri menjadikannya relate dengan kehidupan kita sehari-hari, khususnya perjumpaan antara ‘pribumi’ (istilah yang sudah seharusnya dihapuskan di benak kita) dengan orang Tionghoa peranakan.
Lewat pergumulan pemikiran yang over thinking dan sarat false assumption karena goresan tajam pisau masa lalu membuat trauma mendalam tak gampang disembuhkan. Setelah mendengar curhat dari Ko Afuk, Agnes —mama Natalie— luruh juga. Seperti halnya Ko Afuk yang tidak ingin membuat kesalahan kedua karena tidak merestui—bahkan hadir—dalam pernikahan putra sulungnya dengan Ayu, Agnes tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Trauma masa lalu dengan sang suami yang selingkuh tidak bisa begitu saja diterapkan ke putri semata wayangnya. “Kadang orang tua suka lupa, kalau kehidupan kita engga selalu harus mereka yang atur,” ucapan Natalie yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri merupakan pesan moral yang layak kita renungkan. Ucapan Jake kepada Neytiri di Avatar: The Way of Water ini menuntaskan ucapan Natalie, “This family is our fortress.”
Pertanyaannya, siapakah keluarga kita? Keluarga inti? Extended family? Jelas! Bagaimana jika diperluas lagi dengan tetangga? Bukankah tetangga yang baik bisa lebih kita andalkan ketimbang keluarga yang jauh? Saya setuju dengan pepatah yang mengatakan, “Tetangga yang baik adalah pagar rumah terkuat.”
Di sekitar perumahan di South Lake, di mana saya pernah tinggal, ada tulisan pada papan iklan besar, berbunyi, “Neighbourhood Watch!” Bukankan lingkungan yang kondusif membuat kita nyaman untuk tinggal, meskipun dalam kasus saya, semua tetangga kaukasoid. Saya sangat setuju dengan ucapan Ali bin Abi Thalib yang terkenal itu, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”