Kehidupan dalam pernikahan memang tampak indah bagi mereka yang belum menjalaninya. Namun, bagi yang pernah menjalaninya, ada banyak kenyataan pahit yang menyertainya. Saya ingin menuliskan pengalaman seorang teman lewat kisah ini. Saya menggunakan gaya penuturan orang pertama.
—
Sebagai seorang wanita, aku memiliki impian yang indah akan pernikahan. Kisah-kisah indah dalam dongeng, bahkan foto-foto di Instagram yang memuat momen kebahagiaan usai pesta pernikahan, menjadi harapanku ketika memutuskan untuk menikah di kemudian hari.
Dalam bayanganku, impian itu segera kucapai ketika aku dan kekasihku kala itu memutuskan untuk menikah. Usia kami sudah cukup matang. Aku berusia menjelang 30 tahun, sementara ia berusia 15-an tahun lebih tua dariku. Kami telah berpacaran cukup lama. Aku merasa sudah cukup mengenali salah satu perangainya, yaitu sifat mudah marahnya. Demikian juga aku telah mengetahui masa lalunya. Walau telah kuketahui berbagai keburukannya, aku tetap merasa telah siap untuk melangsungkan pernikahan dan menjalani kehidupan bersama dengannya.
Namun apa yang tak pernah kupersiapkan, justru terjadi begitu tiba-tiba bagai bom yang entah darimana datangnya, pada malam pertama setelah kami menikah. Ya, malam yang seharusnya menyediakan kebahagiaan bagi kami sebagai pengantin baru, justru menjadi awal malapetaka dalam pernikahan kami.
Kenyataan pahit pertama: kami tak akan pernah memiliki keturunan
Setiap pasangan yang telah menikah tentunya memiliki keinginan untuk bisa memiliki keturunan. Namun kami harus menerima kenyataan bahwa hal itu mungkin saja tak akan pernah terjadi. Mengapa tidak? Karena di malam pertama itu, barulah aku mengetahui bahwa suamiku mengalami disfungsi ereksi. Sehingga kami tak pernah merasakan kepuasan dalam kehidupan ranjang kami.
Saat mengetahui permasalahan ini, kami berusaha mencari pengobatan. Namun rupanya, hal ini terlalu menyakiti ego suamiku. Ia menjadi marah besar dan memutuskan untuk tak mau lagi menemui dokter siapapun atau berobat di manapun. Aku berusaha memahaminya serta menerima keputusannya walau berat bagiku.
Setiap kali orang-orang terdekat menanyakan, mengapa kami tak kunjung memiliki keturunan, mereka seolah-olah menyalahkan diriku karena ketidakmampuanku memiliki anak. Aku lebih memilih bungkam, karena tak mungkin kuceritakan aib dalam keluargaku. Tak mungkin juga aku meminta suamiku yang menjelaskan kekurangan dirinya, yang tentu akan membuatnya makin sakit hati dan akhirnya naik pitam kepadaku.
Aku berusaha menerima pandangan negatif orang terhadapku dengan lapang dada. Alih-alih bisa memiliki keturunan dengannya, aku malah harus menyembunyikan rapat-rapat kenyataan bahwa hingga detik inipun aku masih perawan. Aku hanya bisa menangisi hancurnya impian indah pernikahanku dalam diam dan senyap.