Belakangan ini sebuah game online bernama “Among Us” sedang ramai dimainkan. Dalam permainan ini terdapat karakter Impostor yang menurut saya cukup sulit dimainkan, karena dia harus menghabisi dan menipu para crewmate tanpa boleh ketahuan.
Di tengah pandemi yang masih berlangsung, karakter Impostor mengingatkan saya pada ‘si COVID-19’.Layaknya peniru ulung, gejala yang ditimbulkan COVID-19 dapat menyerupai gejala penyakit lain, seperti demam berdarah, stroke, radang lambung, mual muntah, diare dan sebagainya. Sebagaimana Impostor yang diam-diam membunuh, virus SARS-Cov 2 penyebab COVID-19 ini juga dapat diam-diam membunuh seseorang dengan membuatnya kekurangan oksigen. Kondisi ini disebut silent hypoxia atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan happy hypoxia.
Happy hypoxia merupakan kondisi di mana tubuh kekurangan oksigen (hypoxia), namun penderitanya tidak merasa sesak, sehingga tetap dapat beraktivitas seperti biasa. Seseorang dikatakan mengalami hypoxiabila kadar oksigen di dalam darahnya kurang dari 90%, yang mana kadar oksigen dalam darah pada orang yang sehat berkisar 95-100%. Apabila dibiarkan, kondisi hypoxia ini dapat membahayakan penderitanya.
Organ-organ tubuh kita, seperti otak, jantung, dan ginjal memerlukan oksigen yang cukup untuk dapat bekerja dengan baik. Bila organ tersebut dibiarkan bekerja tanpa oksigen, lama kelamaan sel-sel tubuh akan rusak dan dapat terjadi gagal fungsi organ (organ failure) dan berujung pada kematian.
Saat ini saya tengah merawat pasien dengan kondisi tersebut. Ia tetap dapat beraktivitas seperti biasa dan shalat, padahal saat saya cek kondisinya, saturasi (derajat pengikatan) oksigennya hanya 82%.
Lantas bagaimana hal ini dapat terjadi? Sebenarnya istilah happy hypoxia ini bukanlah istilah baru dan tidak spesifik hanya untuk corona virus. Walau sangat jarang terjadi, gejala ini dapat ditemukan pada penderita penyakit paru lainnya. Hal ini diduga terjadi karena terjadi ventilation-perfusion missmatch. Saya akan berusaha menjelaskan dengan sederhana agar mudah di mengerti.
Saat virus menginfeksi paru seseorang, maka akan terjadi proses peradangan dan kerusakan pada paru, sehingga oksigen tidak dapat didistribusikan oleh darah sebagaimana mestinya. Organ tubuh kita yang kekurangan oksigen normalnya akan mengirim sinyal ke otak (sistem saraf pusat). Otak akan memerintah tubuh supaya memastikan pasokan oksigen ditingkatkan. Maka ritme napas pun akan semakin cepat, semakin dalam dan otot-otot bantu napas, bekerja keras semakin dalam. Inilah yang dirasakan sebagai sesak napas.
Dalam kasus happy hypoxia, ada beberapa hipotesa bahwa virus COVID-19 menginterupsi proses sinyaling tersebut baik secara langsung, maupun melalui proses inflamasi yang ditimbulkan. Sehingga walaupun organ kekurangan oksigen, namun tidak dikompensasi oleh tubuh (missmatch). Ada juga dugaan bahwa virus merusak kandungan hemoglobin dalam darah merah yang bertugas membawa oksigen. Ada pula dugaan karena paru masih sanggup membuang CO2 (karbondioksida), sehingga tidak muncul gejala sesak. Namun, bagaimana pastinya sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Semua hipotesa di atas juga masih harus diteliti lebih lanjut.
Jadi, bila tidak dijumpai gejala sesak, lantas bagaimana kita dapat mengetahuinya? Deteksi dini sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymeter, yakni perangkat untuk mengukur kadar oksigen dalam darah melalui ujung jari. Oximeter saat ini pun sudah dapat diakses melalui telepon pintar.
Anda mungkin lelah dan jenuh mendengar pemberitaan COVID-19 dimana-mana. Kita semua menyadari bahwa angka penderita COVID-19 di Indonesia saat ini belum turun, bahkan cenderung meningkat dan jauh dari kata akhir. Namun jangan kendorkan kewaspadaan Anda. Tetap lakukan apa yang menjadi bagian kita dan saya percaya, Tuhan yang berdaulat akan terus melindungi umat yang dikasihi-Nya.