Kenyataan pahit kedua: pernikahan kami benar-benar menjadi neraka
Sejak awal pacaran aku mengenal sifat-sifat suamiku antara lain pemarah, tidak sabaran, mau menang sendiri, dan betapa mudahnya ia meminta putus ketika kami sedang beragumen. Namun dengan kepolosanku aku mengira seusai pernikahan, ia akan berubah. Tentu saja tidak!
Ia bahkan makin menjadi-jadi. Sedikit saja aku salah, ia akan meletup marah serta mengancamku untuk bercerai. Mungkin jika aku tak memegang teguh keyakinan bahwa pernikahan tak boleh diceraikan oleh manusia, aku sudah menyetujui permintaannya. Siapa yang tahan dengan kehidupan pernikahan seperti ini? Sungguh, jika aku tak merasa bersalah pada Tuhan, mungkin aku sudah mengiyakan permintaan cerainya. Namun aku memilih bertahan, karena aku yakin Tuhan pasti akan memberi jalan.
Kenyataan pahit ketiga: suamiku bisa meninggal dengan tiba-tiba
Sebelum menikah, aku sempat memaksa (saat itu) calon suamiku untuk cek darah lengkap. Dari sana kami mengetahui bahwa ternyata suamiku memiliki banyak penyakit, mulai dari kolestrol, asam urat, diabetes, ginjal hingga gangguan tidur yang sangat parah. Sekilas ia terlihat biasa-biasa saja, namun ternyata ada beberapa penyakit serius di tubuhnya.
Setelah menikah, kondisi suamiku tak kunjung membaik. Aku membawa suamiku ke dokter. Dokter yang memeriksa berkata, kondisi suamiku sudah sangat parah, ia bisa meninggal mendadak karena berhenti napas dalam waktu yang cukup lama.
Bukannya dibelai dan disayang, aku justru harus merawat suamiku yang sakit-sakitan hingga harus duduk di kursi roda. Usia pernikahan kami masih sangat muda, namun aku harus menghadapi kenyataan pahit lainnya: bahwa suamiku bisa meninggalkanku setiap saat. Kapanpun waktunya, aku sudah harus siap untuk menyandang status janda.