Sudahkah kita lupa bagaimana kita masih sibuk dengan handphone ketika sedang menyetir? Atau kita tidak mau menggunakan sabuk pengaman ketika berada di dalam mobil? Atau hal lebih mudah, seperti melanggar peraturan lalu lintas agar bisa jalan lebih cepat, seperti yang dilakukan orang lain tanpa mempedulikan pengendara lain?

Berita tentang kecelakaan ini mengingatkan saya dan Anda untuk lebih berhati-hati dengan perbuatan kita.

Cerita dari tiga negara dengan latar belakang yang berbeda memperlihatkan contoh bahwa kecanggihan teknologi dan kecerdasan intelektual tidak menjadi jaminan bahwa seseorang matang secara emosi. 

Usia, jenis kelamin, bahkan pengalaman tidaklah bisa dijadikan cermin untuk mengatakan bahwa seseorang itu pasti akan bertindak sesuai dengan logika.

Tidak ada seorang pun dari kita yang bisa berkata bahwa kita ini kebal terhadap kebodohan seperti itu. Sayangnya, tidak banyak dari kita yang menyadarinya sebelum kata terlambat terucap.

Mawas diri bukanlah menjadi hal yang terasa penting sampai penyesalan muncul dan mengambil alih.

Kecuali pada masa-masa seperti ini. 

Masa-masa ketika rasa shock itu membuka sedikit pintu hati kita untuk bisa menerima nasihat. Ketika momentum peristiwa duka ini bisa dijadikan pembelajaran yang bermanfaat untuk kita yang sedang membacanya. 

Baca Juga: Ketika “Tabrakan” dalam Relasi Tak Terhindarkan, Ingatlah Satu Hal yang Menyelamatkan Relasi Ini

Pesan saya untuk diri saya dan sobat sekalian adalah ini: 

Sambil kita terus berjuang untuk menambah harta, ilmu, dan kedudukan, janganlah kita lupakan sisi dalam yang tidak terlihat ini. 

Sambil kita berlari sekuat tenaga untuk mencapai sukses sesuai dengan definisi kita, janganlah kita lupa untuk memberikan perhatian kepada sisi emosi dari diri ini.

Dan sambil kita mendorong anak-anak kita, generasi mendatang untuk mengejar cita-cita mereka, marilah kita terus mengisi penuh kebutuhan emosi mereka dengan pelukan, perhatian, dan kata-kata cinta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here