Setiap hari seseorang diperhadapkan dengan berbagai pilihan. Mulai dari pilihan-pilihan yang mudah, misalnya makan apa siang ini. Hingga pilihan-pilihan sulit, penuh resiko karena akan mengubah keadaan seseorang. Hidup memang adalah pilihan dan setiap orang didesak untuk memilih sesuatu untuk hidupnya.

Ketika seseorang berada di suatu pilihan hidup yang sulit, itu seperti berada di sebuah persimpangan jalan. Saya ingat ketika pertama kali datang ke Jakarta dan harus mengendarai mobil di jalan tol menuju bandara Soekarno-Hatta. Saya mengandalkan GPS sebagaimana manusia modern hidup hari ini. Namun, di satu titik, saya mengalami kebingungan untuk menentukan arah. Sedang ada jalur baru yang terbagi menjadi empat jalur di depan saya. Ketika menoleh ke GPS, sistem pencarian rute pun seolah kebingungan untuk mencari rute baru yang tepat buat saya. Saya berhenti di pinggir tol. Melihat-lihat arah petunjuk. Bingung arah mana yang harus saya pilih.

Lama di sana, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jalur yang kanan. Dan hasilnya adalah “Welcome to Tangerang”. Berhasil? Tunggu dulu. Saya berjalan perlahan sambil mencari ada tanda petunjuk menuju jalur bandara atau tulisan terminal 1, 2 atau 3 Soekarno-Hatta. Saya tahu Bandara Soekarno-Hatta berada di Tangerang, tapi di mana persis letaknya. sepertinya saya berada di Tangerang yang berbeda. Setelah bertanya pada seseorang di pinggir jalan, barulah saya tahu kalau saya telah tersesat.

Berada di persimpangan jalan yang menuntut kita untuk segera melakukan pilihan memang tidak menyenangkan. Memacu jantung dan memaksa kita berpikir dengan cepat. Pilihan yang salah akan membuat kita menuju ke arah yang salah juga.

Persimpangan jalan bukan hanya berbicara tentang menentukan arah tujuan kita. Namun, sering kali juga merupakan pilihan-pilihan sulit yang kita hadapi dalam hidup. Kali ini bukan di persimpangan jalan tol yang saya hadapi, tapi di persimpangan jalan antara “menikah” atau “tidak menikah” yang harus saya pilih.

Derita orang muda di usia nikah yang sudah berpacaran adalah pertanyaan, “Kapan menikah?” setiap kali kami bertemu dengan orang yang kami kenal berpapasan di jalan. Pertanyaan mereka selalu sama: “Kapan menikah?”. Bagi kami, bukan soal kapan menikah yang menjadi topik utama. Namun, “Sudah siapkah menikah?” itu yang seharusnya ditanyakan.

Setelah mengobrol panjang lebar di sebuah kafe. Akhirnya, saya dan pacar sampai di pembahasan pertanyaan itu. “Bicara tentang menikah, emang seberapa siap kamu menikah denganku?” kami memang ingin menikah. Namun, seberapa siap kami menikah adalah persoalan yang berbeda. Sekali lagi, kami harus berpikir keras untuk menanggapi pertanyaan persimpangan jalan ini.

Ada 3 hal yang menjadi kegalauan kami ketika membatin atas pertanyaan ini:

Siapkah aku meninggalkan masa lajangku?

Dari perspektif perempuan yang sudah mandiri, ternyata ini bisa menjadi kerisauan yang besar. Bukan masalah finansial yang utama. Namun, sudahkah dia siap meninggalkan kesendiriannya dan mulai membiasakan diri untuk hidup dengan seorang pria yang akan ia lihat setiap ia bangun pagi. Siapkah ia memikirkan dua hal sekaligus, dirinya plus pasangannya saat ini, bahkan mungkin tiga hal jika sudah memiliki anak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here