Saya baru saja kembali ke Jakarta. Memulai kehidupan baru setelah kuliah. Dua tahun di Jakarta, saya merasa belum memiliki apa-apa. Penghasilan belum seberapa, aset pun belum banyak. Apakah benar sudah siap menafkahi anak orang?

Beberapa pertanyaan yang sering terbang di kepala adalah:

Setelah menikah, tinggal di mana?

Setelah menikah, jalan-jalan pakai kendaraan apa?

Apakah pasangan akan merasa bahagia hidup dalam serba kecukupan?

Seorang pria cenderung memikirkan kemampuan dan pencapaian dirinya. Ini menyangkut harga diri. Sekalipun banyak masukan juga mengatakan bahwa setiap keluarga mulai dari titik nol. Berusaha bersama dan bangkit bersama adalah perjalanan yang indah antara suami dan isteri. Namun, mempersiapkan “perahu” yang baik untuk ditumpangi oleh calon isteri adalah kebanggaan tersendiri seorang pria.

“What if” – Bagaimana Jika…

Berada di persimpangan jalan juga akan membuat kita berpikir “what if”. Bagaimana jika pilihan ini membawa dampak buruk? Bagaimana kalau seandainya, pilihan ini tidak sesuai dengan yang diinginkan? “Bagaimana jika” memang kadang seperti mimpi buruk yang membawa kita pada ketakutan-ketakutan tertentu yang tidak diinginkan.

Bagaimana jika ternyata ia bukan pasangan yang tepat?

“Bagaimana jika ternyata salah satu pasangan tidak subur sehingga tidak dapat memiliki keturunan?

“Bagaimana jika rumah tangga kami tidak akan mampu melewati 5 tahun bersama di awal?

Bagaimana jika ada kebohongan-kebohongan yang baru terungkap setelah menikah?”

Bagaimana jika anak yang lahir mengalami keterbatasan fisik? Sanggupkah menerima kenyataan itu?”

Dan sebagainya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here