Suatu Sore di Jakarta
Kami berjanji bertemu di suatu sore. Ia, perempuan itu, adalah pembaca beberapa tulisan saya di ributrukun.
“Saya mesti ketemu bapak. Harus! Saya pingin cerita. Tulis saja di ributrukun, ga apa-apa,” begitu bunyi pesannya di hp saya.
Saya tak punya bayangan sama sekali siapa yang akan saya temui. Sampai seorang perempuan muda dengan penampilan yang menarik, aroma parfum yang lembut menyapa,” Pak Wepe, ya?”
Saya hanya menjawab dengan anggukan, sembari mematikan notebook.
Kami pun berkenalan. Lebih tepatnya, ia yang memperkenalkan dirinya. “Saya juga baca cerita-cerita bapak di facebook. Anak-anak bapak lucu-lucu ya?” ujarnya.
Inilah kekuatan media sosial yang mengubah perjumpaan pertama serasa bertemu teman lama.
“Apa yang bisa saya bantu?” pertanyaan standar saya untuk membuka percakapan kami.
“Saya hanya mau cerita, pak. Bapak mau ya dengerin,” pintanya.
Sebuah permintaan sederhana yang barangkali menjadi kemewahan bagi sebagian orang: didengarkan.
Saya pun mempersiapkan diri untuk sebuah percakapan yang panjang dengan memesan segelas es kopi.
Mira dan Kisah Hidupnya yang Tak Terduga
“Bapak tahu kira-kira apa pekerjaan saya?” tanyanya
“Saya tidak bisa menebaknya. Tapi, dengan penampilan khas professional muda seperti ini, Anda pasti bekerja di salah satu kantor. Sekretaris, bagian marketing, atau apapun yang membutuhkan penampilan rapi dan menarik,” jawab saya.
”Bukan, pak. Saya ngga kerja seperti itu lagi. Sekarang ini saya jadi simpanan orang,” ia menjawab dengan rangkaian kalimat yang membuat keheningan sesaat.
Ga perlu ngajarin istri sah, tetep aja simpanan itu adalah wanita rendah yg tidak pny akhlak dan hati nurani, apapun alasannya.