“Sebagai teman akrab, saya ingin kamu tahu tentang hal ini. Saya tak dapat lagi menyembunyikan hal ini darimu. Saya gay.”

Saya tak menduga bahwa dalam percakapan kami malam itu Adam – panggil saja ia dengan nama itu – akan mengungkapkan salah satu rahasia terbesar dalam hidupnya.

Hampir sepuluh tahun berteman, tak pernah saya menduga bahwa ia adalah seorang gay. Gayanya sama sekali tak ‘melambai’.

Penampilannya seperti kebanyakan pria lainnya. Tak seganteng artis di televisi memang, tetapi saya tahu ada beberapa perempuan tertarik padanya. Saya dulu tak paham mengapa Adam sepertinya tak menghiraukan mereka. Kini saya tahu.

Adam juga bukannya tak beragama. Ia malah tergolong aktif beribadah di sebuah gereja. Ia juga menyediakan waktunya untuk melayani dalam beragam aktivitas gereja. Saya yakin, di kalangan gereja, tak seorang pun mengetahui sisi lain kehidupan Adam ini.

Percakapan malam itu adalah pembuka bagi percakapan yang lebih terbuka dan mendalam. Saya sadar bahwa saya berhadapan dengan seorang manusia, dengan segala macam pergumulannya, dan bukan dengan sebuah label: LGBT.

Bahkan, lebih daripada semua itu, saya berhadapan dengan seorang sahabat.

Beberapa waktu lalu, Adam sempat mengungkapkan keinginannya untuk menceritakan kisah hidupnya lewat RibutRukun. Ia menyatakan kesiapannya untuk coming out. Saya memintanya untuk memikirkan kembali keinginannya tersebut, terkait dengan keluarga dan mungkin juga masa depan kariernya di salah satu perusahaan besar di ibu kota. 

Saya menjanjikan akan memberikan kesempatan bagi Adam untuk menceritakan kisah hidupnya, lewat beberapa pertanyaan yang saya kirimkan kepadanya.

Inilah jawaban Adam.

Inilah kisah perjalanan hidup seorang gay, salah seorang sahabat saya. Seseorang yang tetap, dan akan selalu menjadi sahabat saya, bahkan setelah ia mengakui bahwa dirinya gay

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here