Seorang pakar parenting mengajukan sebuah pertanyaan di media sosial: Pada usia berapa Anda menikah dan punya anak?
“Usia 26 tahun menikah. Usia 31 tahun punya anak pertama.”
Harusnya jawaban saya cukup di situ. Namun, tak tahu mengapa tangan ini “gatal” untuk menambahkan,
“Tapi, ibu saya menikah di usia 19 tahun dan punya anak, saya. Ia luar biasa mendidik dan bekerja demi anak. Dan hanya karena kasih dan kemurahan Tuhan saja semua itu dapat dijalani, tentunya dengan waras.”
Jawaban panjang saya ini mengacu pada alasan si pakar yang mengaitkan pertanyaannya dengan pernyataan Komnas Perempuan yang menegaskan bahwa kehamilan remaja hanya memberi tekanan fisik dan psikis.
Saya jadi merenungkan ulang ketegasan pernyataan itu.
Ya memang benar cepat menikah dan hamil menyebabkan tekanan fisik dan psikis.
Jangankan remaja yang masih “bau kencur” kata nenek-nenek zaman dulu. Perempuan dewasa saja tetap banyak yang tertekan secara fisik dan psikis.
Buktinya, ujung-ujungnya kawin cerai atau pisah rumah jadi tren, kan?
Saya bukan seorang pakar. Berbekal pengalaman ibu saya, izinkan saya menyampaikan 5 saran untuk menjaga “kewarasan” setiap perempuan yang hidup di dalam pernikahan, terutama jika memilih menikah di usia belia dan segera punya anak.