Di sebuah siang.
Seorang rekan menelepon untuk mengeluhkan pekerjaannya yang menurutnya membingungkan. Ini bukan pertama kalinya. Ia sudah mengeluhkan hal ini beberapa kali. Hal yang sama.
Keluhan yang sering diucapkan akan membuat orang lain juga ikut merasa penat. Itu yang ada dalam hati saya ketika mendengar keluhannya lagi dan lagi. Merasa lelah mendengarkan keluhannya, saya menanggapi dengan cukup keras dan mungkin kasar.
“Kamu ini lulusan sarjana *** tapi kamu bukan seperti seorang sarjana! Masakan hal itu tidak bisa kamu pahami juga!”
Ia terdiam.
Kira saya ia sedang mendengarkan apa yang menjadi ocehan saya. Maka saya lanjutkan. Saya terus berbicara dan ia hanya terdiam. “Oh mungkin saja ia sedang mencatat perkataan dan masukan saya,” pikir saya.
Tapi saya tidak mendengar sedikit pun suara di telepon.
Mulai curiga, saya bertanya kepadanya “Apa yang sedang kamu lakukan?”
Ia hanya terdiam.
Tidak berapa lama kemudian, ia memilih untuk mengakhiri panggilan.
“Maaf sudah mengganggu,” ucapnya pendek. Telepon dimatikan.
Esok hari.
Tidak ada kabar darinya. Saya menyadari ada yang salah dengan ucapan saya kemarin. Saya mengirimkan sebuah pesan permintaan maaf kepadanya untuk kata-kata saya yang kasar dan menyinggung perasaannya.
Pesan saya dibalas singkat,
“Kamu tidak salah. Mungkin kamu terlalu pintar dan aku yang terlalu bodoh.”