“Nonik … Meme mau sama Nonik,” demikian tangis dan jerit Meme ketika kami membawa Nonik ke rumah sakit. Sambil meronta, Meme terus menjerit.
Peristiwa itu terjadi di Minggu pagi, ketika Nonik, anak kami, masih saja terus muntah. Hampir tidak ada makanan yang bisa masuk dalam perutnya. Minum pun hanya sedikit sekali. Kami khawatir dia mengalami dehidrasi, terutama ketika melihat matanya berubah menjadi agak cekung.
Sakit Nonik berawal di Sabtu malam, ketika kami mengikuti sebuah persekutuan doa di sebuah hotel di Surabaya. Dalam perjalanan, di mobil Nonik sudah mengeluh pusing dan mau muntah. Mengira dia pusing karena gaya menyetir saya yang agak ugal-ugalan, saya minta dia untuk memejamkan mata. Namun, baru saja kami parkir dan turun dari mobil, ia muntah. Sepanjang acara malam itu, istri saya bolak balik mengantar Nonik ke toilet karena mualnya yang tak tertahankan.
Minggu pagi akhirnya kami mengambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit. Beberapa saat di UGD untuk observasi, dokter memutuskan Nonik untuk rawat inap.
Keputusan membawa ke rumah sakit tampaknya adalah keputusan yang tepat setelah kami melihat Nonik berkurang drastis muntahnya. Dia juga terlihat agak segar, tidak lagi lemas, tertolong oleh cairan infus.
Sambil menunggu kamar dan hal-hal lainnya dipersiapkan, kami menelepon rumah untuk sekadar memberikan informasi sekaligus mengecek kondisi Meme yang tadi menangis histeris.
Baca Juga: Menemani Anak yang Diopname, Bermalam di Rumah Sakit – Day 5: A Lesson Learned