2. Kemampuan memang baik, tapi moral dan sikap hati atau attitude menjadi poin penting yang juga dinilai.
Beberapa sekolah berlomba-lomba untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bermutu dan baik, tetapi banyak yang mengabaikan pendidikan moral. Sekolah-sekolah itu lupa mengajarkan kepada anak-anak didik mereka bagaimana attitude atau sikap hati yang baik, sehingga banyak sekali orang tua yang kewalahan menghadapi anak-anak mereka yang moralnya kurang baik.
Saya sangat setuju jika beberapa perusahaan juga tidak mengesampingkan penilaian tentang moral dan sikap seseorang.
3. Menerima penilaian dengan keikhlasan
Manusia cenderung menjaga harga diri, bahkan lebih dari sekadar menjaga manusia berjuang mati-matian demi harga diri.
Kita lebih sering mengumandangkan keberhargaan diri kita di mata dunia, sampai-sampai tak jarang keangkuhan dan kesombongan menjadi iring-iringan perjalanan bergengsi kita: “Ini loh, saya sekarang”, “Jangan main-main dengan saya”, “Saya sudah punya jabatan penting sekarang.”
Kita lebih suka mengagungkan sesuatu yang melekat pada status diri kita ketimbang menyadari bahwa diri kita adalah manusia yang berharga karena-Nya.
Karena sikap hati yang salah, maka masalah menerima penilaian juga tidak bisa dipaksakan kepada semua orang. Ada orang yang dengan mudah dan berbesar hati menerima penilaian orang lain. Sebaliknya, ada orang yang keras hatinya ketika dinilai orang.
Anggaplah penilaian sebagai sebuah evaluasi diri, sekalipun menurut kita kita ini tidak seperti yang dinilaikan. Namun, apa salahnya jika kita mengevaluasi diri? Setidaknya jika kita sudah baik maka kita akan menjadi lebih baik lagi.
Jika boleh saya simpulkan, semua penilaian yang disampaikan manusia adalah penilaian yang diberikan atas apa yang kasat mata saja. Apa pun bisa dinilai. Namun, setidaknya, cobalah mengambil pembelajaran dari apa yang dinilaikan orang terhadap kita.
Baca Juga:
Hidup Ini Indah, Bila Sepasang Hal Ini yang Menjadi Perspektif Kita