“Coba lihat, angka berapa yang ada di sini?” begitu permintaan ibu dokter di puskesmas, beberapa hari lalu, ketika saya mengurus surat keterangan sehat untuk perpanjangan masa berlaku SIM.

Di hadapan saya ada buku Isihara yang biasa digunakan untuk melakukan tes buta warna.

“Angka 37,” jawab saya dengan mantap.

Ia membuka halaman lain dan menanyakan pertanyaan yang sama. Bedanya, kali ini saya tak sanggup melihat angka berapa yang muncul. Demikian juga halaman-halaman selanjutnya.

”Oh, tak masalah kok, Pak. Kalau buta warna parsial, masih bisa dapat SIM,” ibu dokter itu tampaknya mencoba menghibur saya.

 

Saya pernah menjalani tes buta warna puluhan tahun lalu. Saat untuk pertama kalinya saya tahu bahwa saya menderita buta warna parsial, tepatnya untuk warna merah dan hijau.

Saya masih kelas 3 SMP.  Bersama 200-an orang, kami mendaftar untuk diterima masuk sebuah sekolah berasrama di Jawa Tengah. Sebuah sekolah prestisius yang mengumpulkan kandidat terbaik dari seluruh pelosok negeri. Seleksi demi seleksi saya ikuti: tes kecerdasan, tes psikologi, tes pengetahuan umum, bahkan tes olahraga yang cukup berat untuk anak SMP. Dari 200-an, tinggal 100-an, 50-an dan kemudian jumlah ini berkurang hingga tinggal kurang lebih 8 orang. Saya bangga termasuk peserta yang lolos sekian banyak saringan. Tinggal tahap akhir: pemeriksaan kesehatan total. Saya optimis bisa melewatinya.

Teman-teman lain dengan cepat dan mudah melewati tes buta warna itu. Saya kesulitan setengah mati untuk melihat angka yang ada dari lembar ke lembar. Kadang dengan percaya diri saya menyebutkan angka tertentu, tapi dokter hanya menggeleng ringan sambil tersenyum. Beberapa lembar malah sama sekali tak terlihat angkanya. Saya hanya mampu berdiam diri.

Dokter yang memeriksa terlihat kecewa. Saya masih ingat benar apa yang dikatakannya. Hal yang tak saya mengerti waktu itu. Hal yang baru saya pahami setelah pengumuman peserta yang lolos seleksi.

 

”Wah, sayang sekali buta warna. Tak mungkin lolos. Padahal akademis bagus dan motivasi sangat baik,” kurang lebih dokter itu berkata demikian.

Ya, saya mesti menerima kenyataan bahwa saya gagal menembus SMA prestisius itu.  Padahal saya sudah mengharapkan masa depan gemilang apabila dapat masuk ke SMA itu. Jenjang karier, baik untuk militer maupun menjadi warga sipil, akan terbuka luas.

Penyebabnya? Buta warna.

Keterbatasan yang bersifat turunan. Satu hal yang bahkan tidak pernah saya sadari sebelumnya.

Bukan berarti dunia saya hanya abu-abu, tetapi jelas dengan keterbatasan ini saya tak mungkin akan bekerja di bidang yang terkait dengan kedokteran, desain, dan beberapa hal lainnya. Oh ya, jika Anda ingin mengetahui bagaimana orang buta warna melihat dunia ini, sila akses video di sini 

Awalnya, saya berharap apabila diterima di sekolah berasrama yang prestisius itu, sedikit banyak akan mengobati kekecewaan terkait dengan peristiwa tertukarnya NEM di Sekolah Dasar dulu. Saya beberapa kali menuliskan pengalaman pahit ini. Namun, apa daya, kembali saya mengalami kegagalan dalam usia yang relatif muda.

Baca Juga: Pernah Menjadi Anak yang Tidak Naik Kelas, Saya Belajar Bagaimana Menghadapi Kegagalan Anak dari Orang Tua Saya

 

Ketika saya menengok ke belakang, dua ”pukulan” berat itu terjadi waktu saya berusia 12 tahun dan 15 tahun. Cukup untuk mematahkan semangat belajar dan berkompetisi yang cukup tinggi waktu itu. Tak ada lagi semangat menggebu untuk belajar, ya hanya menjalani saja dengan santai.

Pada waktu itu sering terbayang di pikiran saya, ”Buat apa susah-susah belajar, kalau nanti hasilnya buruk karena kesalahan orang lain – seperti waktu SD atau karena ada kelemahan bawaan – seperti waktu SMP.”

Kehidupan tampaknya memberikan penghiburan dengan memberikan kesempatan bagi saya untuk masuk ke SMA Kolese Loyola. Bersyukur iya, tapi semangat belajar itu tak kunjung pulih. Terbayang betapa tak luasnya pilihan karier dengan keterbatasan yang ada.  Tak terlihat keterbatasan itu di mata orang lain, tapi membatasi pilihan yang ada di depan mata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here