“Iwan sedang suntuk. Begitulah kalau ia sedang negatif, semua salah. Dan, sudah kebiasaannya mencari kambing hitam. Lha, kan, aku orang terdekatnya, maka semua sampah ditumpahkannya ke aku,” ujar Rina santai.

“Itu masalah Iwan pribadi, tidak ada kaitannya dengan aku. Nah, sekarang pilihannya ada padaku: mau ikut terpengaruh atau tidak. Aku jelas memilih tidak terpengaruh! Hidupku terlalu berharga untuk ikutan bete, hanya gara-gara iwan yang sedang tidak bahagia. Kalau ditanggapi, pasti terjadi perang besar.”

 

Rina kemudian menjelaskan kepada saya prinsip-prinsip yang dipelajarinya dari buku Dr. Henry Cloud, Boundaries, beberapa tahun silam.

Perasaan kita, apakah baik atau buruk, adalah milik kita. Perasaan ini adalah tanggung jawab kita sendiri. Sedangkan perasaan orang lain, tanggung jawab mereka.

Jika orang lain, katakanlah Iwan, merasa sedih, itu adalah kesedihan Iwan sendiri. Mungkin saja saat perasaan itu datang, Iwan butuh orang lain bersimpati merasakan kesedihan dan berempati dengan keadaannya. Namun, yang harus bertanggung jawab atas perasaan itu tetaplah Iwan.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa menetapkan batas atau boundaries itu kejam dan tidak berperasaan. Sesungguhnya tidak. Itu adalah cara membangun hubungan yang sehat. Juga menjaga agar diriku tetap waras dan sehat.

Di satu sisi, aku harus peka dan berempati terhadap perasaan Iwan. Akan tetapi, di sisi lain, aku juga mesti sadar bahwa aku tidak bertanggung jawab atas apa yang dirasakan Iwan. Dari situ, aku harus membuat keputusan berdasarkan pertimbangan matang: sikap apa yang akan aku ambil.

 

Mengambil tanggung jawab atas perasaan Iwan adalah hal yang paling tidak peka yang dapat aku lakukan, karena itu artinya aku menyeberang ke wilayah orang lain.

Iwan perlu bertanggung jawab atas perasaannya sendiri.

Jika Iwan cukup dewasa, dia akan memproses kekecewaannya dan menerimanya dengan penuh kesadaran. Bukannya melampiaskan kekecewaannya pada orang lain, ia seharusnya mencari solusi bijak bagi masalah yang dihadapinya. Jika tidak, Iwan akan menyalahkan orang lain, aku misalnya, atas kekecewaannya.

Baik mengatasi kekecewaan maupun menyalahkan orang lain, keduanya tanggung jawab Iwan sendiri. Itu pilihannya.

Dalam hidup, tak seorang pun bisa mendapatkan semua yang diinginkannya. Iwan perlu belajar hal itu.

Sementara ini, aku paham betul situasi berulang yang kuhadapi. Maka, aku menetapkan batas yang jelas: mana yang merupakan persoalan sesungguhnya dan harus dicarikan solusi, dan mana yang merupakan persoalan yang dicari-cari – sekadar buang sampah – yang harus diabaikan.

“Iwan dalam keadaan normal, adalah suami, ayah, dan pemimpin yang baik. Sikapnya pun baik. Jadi aku memutuskan fokus pada kebaikannya dan mengabaikan kekurangannya. Jika 90% Iwan baik, masa aku justru fokus dengan kekurangannya yang cuma 10%? Aku hidup dengan otak dan logika, bukan sekedar main perasaan. Apalagi dulu nilai Matematikaku 9 di rapor,” jelas Rina sambil terbahak-bahak.

 

Saya kagum dengan sikap Rina. Seandainya saja banyak pasangan suami-istri, termasuk saya, mampu menetapkan batas-batas atau boundaries yang jelas lalu mengambil keputusan cerdas berdasarkan pertimbangan yang matang seperti Rina, niscaya angka perceraian akan menurun drastis dan pernikahan bahagia jadi lebih mudah diciptakan.

Pernikahan merupakan perjalanan hidup yang sangat panjang.

Jika tidak cerdas mengelola dan mengatasi masalah sehari-hari, pernikahan bertahan hingga maut memisahkan rasanya sangat sulit dicapai.

 

“Learn to love without condition. Talk without bad intention. Give without any reason. And most of all, care for people without any expectation.”

– NN

 

 

☕,

Yenny Indra
www.mpoin.com

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here