Entah suatu kebetulan atau bukan, akhir-akhir ini banyak sekali saya temui akun yang saya ikuti di jejaring sosial membahas mengenai kesehatan mental. Kesehatan mental adalah sebuah isu yang sepertinya tidak sering dijamah dan dipedulikan oleh banyak orang, termasuk saya sebelumnya.
Tidak cukup banyak yang saya ketahui mengenai depresi karena belum pernah saya bersinggungan ataupun berinteraksi secara intens dengan penderita depresi.
Topik mengenai kesehatan mental atau mental health mulai menarik perhatian saya ketika saya mengenal seorang kawan yang memiliki riwayat depresi akut.
Dalam jangka waktu yang berdekatan, beberapa kali saya mendapati kawan saya kambuh penyakit deperesinya untuk yang kesekian kalinya.
Depresinya bukan saja membuat dia terluka, tetapi juga membuat saya yang menyaksikannya ikut terluka.
Saya ikut sedih ketika melihat masa-masa ketika dia berusaha menarik diri mati-matian dari lingkungan sosial, atau ketika dia merasa bersalah atas dirinya sendiri, dan juga merasa dirinya tidak layak dalam banyak hal, bahkan merasa dirinya menjadi beban bagi orang sekelilingnya.
Ada artikel yang memuat cerita yang dituturkan oleh seorang penderita depresi bahwa menghakimi, menasihati, atau menceramahi dengan ayat-ayat dari Kitab Suci justru bukan cara yang tepat untuk menolong seorang penderita depresi. Hal-hal serupa ini justru membuat muak dan kesal. Para penderita depresi sebenarnya tahu tentang kebenaran yang disampaikan oleh Si Penceramah, hanya saja mereka terjebak dalam situasi memilukan yang belum tentu semua kita bisa memahaminya.
Sehubungan dengan teman saya yang mengalami depresi itu, alih-alih mengucapkan kata bijak, saya mencoba untuk mendengar setiap keluh-kesahnya.
Akhirnya saya belajar untuk mengingatkan diri saya sendiri:
Setiap orang layak menerima kasih tanpa memandang masa lalu yang dilewatinya.
Tidak banyak yang bisa saya lakukan ketika kawan saya ini kambuh depresinya. Saya memilih untuk diam, mendengarkan dan di akhir pembicaraan saya mencoba mengutarakan perasaan saya,
“Kamu tau nggak, betapa bersyukurnya aku mengenal sosok sepertimu? Kamu bukan hanya hangat, tapi juga penyayang. Aku mengasihimu”
Oke, mungkin kalimat di atas sekilas tampak berlebihan. Akan tetapi, menurut pengamatan saya kata-kata saya cukup berdampak bagi kawan saya ini. Dia mulai tenang dan secara perlahan mereda perasaan depresifnya. Mungkin dia merasa lebih baik bukan karena kata-kata saya, karena saya yakin keinginan untuk mereda timbul dari dalam dirinya sendiri.
Saya mencoba menempatkan diri saya sejenak di posisi teman saya itu.
Kalau saya saja yang ‘normal’ bisa merasa begitu berharga dan dikuatkan ketika mendapati ada orang yang bisa berempati kepada saya ketika saya terpuruk, apalagi teman saya ini! Membuatnya merasa tidak sendirian memang tidak akan menghilangkan depresinya, namun setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian menghadapinya.