Saya baru saja membuka laptop dan mulai bersiap untuk bekerja saat staf saya mengetuk pintu kantor saya dan berkata, “Pak Xavier, ada seorang ibu yang mau konseling.”
Saat saya persilakan masuk, wajah ibu itu bengkak. Ada lingkaran ungu di seputar matanya. “Pak Xavier, saya dipukuli suami,” ujarnya tanpa memperkenalkan diri terlebih dulu.
Baru ketika melihat saya mengernyitkan dahi, ibu itu berkata, “Maaf Pak Xavier. Saya dari kota M. Saya datang bersama suami. Seorang teman menyarankan saya untuk bertemu Bapak. Kami ingin konseling. Saya ajak suami saya, tetapi dia memilih untuk menunggu di depan.”
Setelah sesi konseling selesai dengan damai dan tidak jadi bercerai, saya minta izin untuk menuliskan kasus mereka tanpa menyebut nama dan tempat tinggal mereka. Dari sesi konseling dengan mereka —istri lebih dulu kemudian sang suami— lalu saya pertemukan mereka berdua dan memberi saran-saran dan opsi-opsi agar mereka pilih dan putuskan sendiri. Bukankah konseling tidak selalu memberikan jalan keluar, tetapi justru jalan masuk ke permasalahan mereka agar dengan sikon yang mereka hadapi dan pilihan-pilihan yang bisa mereka ambil, mereka bisa memutuskan yang terbaik bagi keluarga mereka?
Dari sesi konseling pasutri ini saya menemukan 3 penyebab utama mengapa suami sampai emosi dan memukul pasangan hidupnya.
Pertama, istri super dominan yang mencoba ‘menjajah’ suami dalam berbagai area kehidupan. Karena merasa berasal dari keluarga yang lebih mapan secara finansial dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari sang suami, sang istri ini tanpa sadar sering merendahkan suaminya. Kata-kata kasar seperti, “Dasar bodoh,” begitu mudah meluncur dari mulut ibu ini. Sang suami yang introver mencoba bersabar sekian lama sampai akhirnya lava yang menggelegak lama di hatinya, meletus.
Kedua, karena orang tua sang istri memberikan perusahaan untuk dikelola menantunya, sang istri bertingkah sebagai mandor sekaligus auditor bagi sang suami. Kesalahan sedikit saja bisa menyulut amarahnya. Siapa lagi yang jadi sasaran jika bukan sang suami. Karena merasa dipermalukan di hadapan anak dan karyawan, sang suami tidak tahan lagi.
Ketiga, inilah yang akhirnya menjadikan suami sebagai pelaku KDRT, yaitu istri yang terus menantang. Sebenarnya, saat suami berkata, “Kalau ngomel terus, saya pukul loh,” ia sebenarnya hanya menggertak agar istri berhenti. Namun, sang istri justru menantang, “Kalau berani ayo pukul aku. Toh kamu datang ke sini tidak membawa apa-apa!”
Pasutri, ayo sama-sama menahan diri.