Satu pelajaran lagi bagi saya:
Menjadi teman perjalanan yang hadir dalam masa terberatnya.
Saya mungkin tidak tampak seperti memberikan sebuah pertolongan apa pun padanya, malah sepertinya saya cenderung bersikap pasif.
Sebelum saya berupaya mengingatkannya, kembali saya mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada alasan sekecil apapun untuk kita tidak mengasihi sesama. Pilihannya hanya ada dua: kita mau terlibat atau tidak dan malah mengabaikan.
Memilih terlibat tentu merupakan sebuah risiko besar. Selain menyediakan telinga, kita pun harus rela mengesampingkan ego dan mengutamakan kerendahan hati untuk bersedia menjadi bagian dari kisah perjalanan hidup seseorang yang naik turun.
Kita harus siap menjadi bagian dari kisah manisnya pun juga sigap menjadi bagian dari kisah pilunya. Tidak mudah.
Namun siapa sangka jika kisah indah yang terangkai dari manis pilunya kehidupan akan tertoreh di dalam sebuah lembar kehidupan seseorang yang layak untuk dibaca sesama.
Saya masih memegang keyakinan bahwa suatu saat kawan saya bisa pulih. Lalu kalau tidak pulih? Tidak apa.
Mungkin akan menjadi berat, namun bukankah pencapaian hidup terbesar bagi seorang manusia adalah menjadi dampak bagi sesamanya?
Kalaulah saya tidak memiliki dampak besar bagi suatu lingkungan, setidaknya saya merasa berharga ketika dipilih menjadi seorang kawan bagi ia yang berbeban berat.
Saya percaya setiap kita merupakan rekan perjalanan bagi orang lain. Kerelaan dan kerendahan hati yang kita miliki merupakan modal awal untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Mungkin perjalanan tak selalu mulus penuh dengan kerikil tajam, tetapi selalu layak untuk dilalui bagi kita yang memilih untuk tidak berhenti bertumbuh.
Oh ya, kawan yang saya ceritakan sedari awal tadi, tak lain tak bukan adalah pasangan saya sendiri.