Semua orang mengatakan hidup saya luar biasa enak. Saya tak perlu bekerja, bisa berada di rumah setiap saat, ditambah lagi memiliki waktu bersama anak-anak setiap saat. Banyak yang iri dengan kehidupan saya. Namun, satu hal yang tak pernah mereka ketahui, setiap ada kesempatan untuk keluar dari rumah tanpa anak-anak, barulah saya merasa seolah-olah hidup kembali!
Menjadi ibu rumah tangga memang menyenangkan—demikian kata orang-orang yang belum mengalaminya. Namun, pernahkah mereka berpikir bahwa sesungguhnya menjadi ibu rumah tangga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami depresi?
Saya memiliki banyak teman yang bekerja, saya iri pada mereka. Tidak, saya tidak iri karena mereka bisa mendapatkan uang saku sendiri. Saya iri karena mereka masih bisa memiliki waktu untuk mereka sendiri, dan menjadikan rumah sebagai tempat tujuan yang nyaman selepas bekerja. Sementara saya, sebisa mungkin saya berusaha untuk keluar dari rumah, bahkan lebih baik jika tanpa membawa anak. Namun, sepertinya tak banyak yang memahami pikiran saya.
Baca Juga: Stres Ibu Rumah Tangga? Saya Juga Mengalaminya, Ma. Saya Tahu, Rasanya Seperti Ingin Meledak Saja!
Ibu Rumah Tangga Tidak Bisa Bersantai
Sebelum menikah, saya pernah merasakan bekerja, baik bekerja sendiri maupun di perusahaan orang. Sepenat apa pun pekerjaan, saya masih bisa bersantai barang sejenak. Kantor tempat saya pernah bekerja sesaat memiliki sebuah kantin tempat para pekerja bisa membuat kopi sambil melepas stres sejenak. Sepulang kerja, sekalipun harus berjuang melawan kemacetan, saya bisa merasa lega ketika sudah hampir tiba di rumah. Mandi air hangat, berbincang sejenak dengan keluarga, dan langsung tidur pulas. Hal-hal inilah yang saya rindukan ketika menjadi seorang ibu rumah tangga.
Tidak ada waktu luang bagi ibu rumah tangga, bahkan untuk membuat kopi dan menghabiskannya dalam damai. Share on XSebentar saja membuka handphone untuk mengecek pesan yang masuk, anak-anak [saya memiliki anak yang dua-duanya masih tergolong balita] sudah ribut berteriak. Belum lagi ketika mereka sakit. Tidak ada orang yang paling merasakan sumpeknya mengatasi anak-anak yang sedang rewel selain seorang ibu rumah tangga.
Sementara para suami bisa memberikan alasan “capek pulang kerja”, ibu rumah tangga tidak bisa memberi alasan untuk beristirahat barang sejenak.
Setiap bayi saya sakit, saya harus menggendongnya selama 22 jam. Dua jam sisanya adalah akumulasi waktu yang saya gunakan untuk mencuri-curi ke kamar mandi, makan, dan membuka handphone untuk menuliskan perasaan saya saat itu di notes – agar saya tidak depresi seorang diri. Lelahnya tak terkira. Untuk memejamkan mata selama beberapa detik saja rasanya sebuah kemewahan yang luar biasa.
Ya, mungkin itulah yang paling saya butuhkan sebagai kado ulang tahun: satu hari saja, saya ingin bisa bersantai dengan bebas dan melakukan apa saja, tanpa harus mengurusi anak dan pekerjaan rumah tangga.
Baca Juga: Menemani Anak yang Diopname, Bermalam di Rumah Sakit – Day 2: A Mother’s Love
Ibu Rumah Tangga Tidak Memiliki Teman
Seorang rekan mentertawakan saya ketika saya berkata bahwa menjadi seorang ibu adalah “social suicide”. Namun, ketika akhirnya ia mengalaminya sendiri, ia pun mengakuinya.
Ketika kita berjuang seorang diri di rumah, tanpa seorang pun menghargai hasil jerih payah kita, tanpa digaji pula, kita telah mengorbankan banyak hal, termasuk waktu bersama teman. Saya nyaris tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan teman saya. Ketika mereka mengajak saya untuk ngafe cantik, saya rajin sekali menolaknya. Bukan karena saya tidak suka, tapi karena saya benar-benar tidak bisa melakukannya. Rutinitas saya benar-benar sudah menghabiskan seluruh waktu dan energi, hingga saya tak lagi memiliki kehidupan di luar rumah.
Parahnya, banyak yang tak memahaminya. Mereka berkata saya sombong karena saya tak mau lagi bergaul dengan mereka. Jujur saya iri pada mereka, karena mereka belum menikah dan belum memiliki anak, mereka dengan bebas bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Sementara saya terjebak dalam rutinitas di rumah.
Saya begitu iri dengan kebebasan mereka, hingga saya tak sanggup lagi menggoda mereka dengan menyuruh mereka segera menikah atau memiliki anak.
Tidak, biarlah mereka menikmati apa yang masih bisa mereka nikmati saat ini selagi bisa. Kelak, jika mereka memutuskan untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga seperti saya, mereka akan merasakan sendiri bagaimana menjadi saya.
Ibu Rumah Tangga dan Depresi
Tidak memiliki waktu luang; tidak memiliki teman; tidak bisa keluar rumah sesuka hati, apalagi tanpa ribet membawa anak dan segala pernak pernik mereka; rumah tidak pernah bersih dan rapi, sekalipun kita telah berjuang memebersihkannya. Semuanya digabungkan dan diakumulasikan, sudah pasti menjadi salah satu penyebab depresi.