Seorang kawan lama mendatangi dengan wajah kusut. Sebut saja namanya Budi. Ia adalah teman saya sejak awal masuk kuliah hingga saat ini.
“Aku baru saja diputusin Rosa,” curhatnya.
Rosa juga adalah teman saya di kampus. Rosa dan Budi adalah ‘kampus sweetheart‘ -begitu saya menyebut mereka. Karena mereka bertemu dan berpacaran di kampus dan awet sampai saat ini. Setidaknya begitu pemikiran saya hingga tiba-tiba Budi menyampaikan berita ini.
Beragam alasan yang mungkin terjadi muncul di kepala saya. Berbagai macam teori yang bisa saja terjadi.
Mulai dari sifat. Harus saya akui, pasangan ini memiliki sifat yang bertolak belakang. Budi adalah anak terakhir yang biasa dimanja keluarganya. Segala sesuatunya selalu disiapkan oleh orang tuanya sehingga ia terbiasa bergantung kepada mereka. Sementara Rosa adalah perempuan berjiwa bebas dan mandiri.
“Aku juga ga tahu apa alasannya, Fel. Diputusin gitu aja,” Budi menghela nafasnya.
Saya juga tahu benar perjuangan Budi mengejar Rosa selama ini. Ia bahkan rela mengikuti Rosa yang ingin meneruskan belajar bahasa di Cina. Saya dan kawan-kawan yang lain sempat memberi pesan pada Budi agar di Cina kelak belajarl menjadi mandiri, jangan membebani Rosa.
Karena saya juga mengenal Rosa dengan baik, saya pun berjanji pada Budi. Saya akan mengajak Rosa mengobrol dan mencari tahu alasannya memutuskan Budi, sehingga ia bisa merasa lebih lega setelah tahu alasannya.
Maka setelah Budi pulang, saya langsung menghubungi Rosa yang ternyata juga sudah berencana untuk menemui saya. Saya bisa memahami kegalauannya. Mereka sudah pacaran cukup lama, mungkin ada 6 tahun lamanya. Pasti membutuhkan pertimbangan luar biasa untuk memutuskan mengakhirinya begitu saja.
“Jadi, ceritanya itu …” Rosa mengawali. “Mulai dari di Cina, awal-awal memang dia baik-baik saja. Mungkin karena kita masih excited dengan suasana baru dan kita masih berusaha untuk beradaptasi di sana. Tapi mulai terlihat kalau dia itu tidak bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
“Bayangin deh Fel, masa pakaian dia aja aku lho yang harus natain di lemari. Jadwal-jadwal dia setiap hari juga aku yang harus aturin. Ayo kamu belajar, ayo kamu mandi, ayo waktunya makan. Kalau ga aku gituin, dia tiap hari cuma main game komputer saja kerjaannya dari pagi sampai malam sampai pagi lagi.”
Saya cukup terkejut mendengar kisah ini. Karena selama ini memang saya tidak tahu sisi Budi yang seperti ini.
“Kalau aku mengingatkan, dia bilang aku cerewet. Tapi kalau dibiarin ya bablas! Sampai pada titik aku sudah tidak bisa mentoleransi sikapnya lagi. Saat itu aku minta putus, tapi dia menangis dan memohon, dia bilang mau berubah demi aku. Aku percaya padanya dan memberinya kesempatan lagi.
“Setelah kejadian itu ia membaik sedikit. Ia berusaha mengatur waktunya sendiri, ia mulai lebih rajin. Sampai kemudian ia bertemu teman-teman baru. Mungkin kamu ga percaya sama aku Fel, tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia berubah jadi genit, setiap ada cewek baru pasti dideketin. Entah pengaruh teman barunya atau memang itu sifat aslinya. Semenjak itu kita mulai menjauh. Aku sendiri bingung sebenarnya status kita apa, tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Aku fokus saja pada studiku saat itu.
“Dan puncaknya ya justru ketika kita sama-sama balik Indonesia ini. Karena kita terpaksa harus dekat lagi. Aku mulai merasa tidak nyaman setiap kali bersama dengannya. Apalagi ketika tiba-tiba orang tuanya datang melamar. Tiba-tiba saja aku menangis. Rasanya kok aku tidak rela.