Beberapa hari yang lalu, Bunga Citra Lestari (BCL) membuka diri dan menceritakan kisah cintanya: pada mendiang Ashraf, pada putranya (Noah), dan pada dirinya sendiri. Sebuah kalimat BCL menarik dan menancap di hati saya.
“Jangan suruh anak gue kuat, jangan suruh gue kuat!”
Statement tegas BCL ini seperti membawa saya ke belasan tahun lalu. Saya memang belum pernah berada di sepatu BCL, kehilangan belahan jiwa yang benar-benar mencintai dan menerima dia apa adanya. Namun, saya pernah merasa kehilangan jangkar hidup saya, kehilangan ayah yang saya kasihi justru di saat membutuhkan kehadirannya. Saat itu, semua nasihat orang-orang untuk menyuruh saya kuat malah terdengar seperti kutukan; I was not strong, and it is very painful when people forced you to be strong and not letting you feel what actually inside you!
Beberapa minggu lalu saya juga membaca curhat seorang teman yang juga kehilangan suami tercinta. Dia menulis dalam story Instagramnya, dengan font berukuran kecil yang mungkin sebenarnya dia teriakkan dari dalam hati, “Aku tidak kuat. Aku kangen dia.”
Kata-kata, “Kuat ya!” seperti menjadi mantra yang diucapkan banyak orang kepada mereka yang berduka dan kehilangan. Andai saja setiap kali frasa itu terucap hati ini jadi sungguh kuat; nyatanya kami malah makin luka. Penulis V. R. Risner menyebut frasa sejenis ini sebagai “good-intentioned cruelty”. Kala kita “memaksa” seorang untuk menjadi gembira tatkala mereka menderita, kita sedang menjerumuskan mereka dalam kesendirian, kerapuhan, dan ketidakamanan. Risner mengatakan, dengan melakukan hal ini, kita seperti menambahkan cuka ke dalam air soda; ia akan meledak, dalam kemarahan.