Satu bulan terakhir ini, layar gadget saya dipenuhi dengan berita yang memberatkan hati.
Seorang kolega mengabarkan kematian istrinya, yang meninggal tepat di hari ulang tahunnya yang ke-41, setelah beberapa waktu berjuang melawan kanker. Ia meninggalkan dua putra-putri, yang satu masih berusia 8 tahun dan yang lain bahkan belum genap 1 tahun.
Seorang kerabat suami meninggal mendadak ketika berolahraga. Dua buah hatinya masih kecil. Tak ada yang menyangka ia pergi secepat itu. Ia sangat bugar, ia pribadi yang sangat bersahabat, usianya belum genap 40 tahun.
Keluarga sahabat kami divonis positif Covid-19. Mereka sekeluarga jarang sekali bepergian, menahan diri untuk tetap tinggal di rumah demi kebaikan banyak orang. Virus itu memasuki rumah mereka justru ketika mereka keluar barang sejenak untuk membantu sesama. Saat ini pasangan suami-istri ini harus dirawat di rumah sakit karena kondisi yang kurang stabil, meninggalkan dua anak berusia remaja yang juga sedang dalam pemulihan di rumah.
Seorang kawan lama tiba-tiba memasang foto istrinya dalam peti mati di linimasa media sosialnya. Ketika mencoba untuk mencari klarifikasi dari kawan yang lain, saya lebih terkejut mendengar bahwa tiga bulan sebelum kepulangan sang istri, pasangan ini kehilangan anak yang lama mereka tunggu. Bayi mereka lahir dalam kondisi prematur dan meninggal tak lama setelah menyapa dunia. Kini sang istri pun meninggalkan belahan jiwanya. Usianya sama dengan usia saya.
Seorang senior yang tinggal di belahan barat Pulau Jawa mengabarkan sang suami terkena serangan stroke. Selang beberapa jam, kabar berikutnya masuk, kondisinya tidak baik. Beliau sudah tidak bisa mengingat apapun dan melakukan banyak gerak tanpa dikontrol kesadaran penuh. Tak lama, kami mendengar bahkan Beliau dalam keadaan koma, tanpa ada dokter spesialis yang mendampingi karena mereka tinggal di kota kecil.
Mengapa?
Ketika berita duka demi berita duka datang silih berganti, saya sempat bertanya, “Mengapa?” Melihat foto anak-anak yang melihat peti jenazah ayah atau ibu mereka dengan mata yang penuh tanya namun seperti tak dapat mengungkapkannya, hati ini serasa tersayat. Melihat air mata para suami dan istri yang kehilangan rekan hidupnya, kata-kata seperti lenyap tertelan duka. Mengapa mereka harus kehilangan? Mengapa mereka kehilangan justru di saat mereka sangat membutuhkan kehadiran mendiang?