Suatu hari seorang kawan lama menyapa melalui Instagram. Kami sudah lama tak berkomunikasi, dan setahu saya kini ia sudah tak lagi berada di Indonesia. Ia merantau di negeri orang, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sana. Saya terkadang masih sering mengikuti Instagram Storynya yang banyak mengisahkan kehidupan barunya disana.

“Hai, Fel, apa kabar?” Sahutnya ceria, ia memang memiliki kepribadian yang ceria. Sejak mengenalnya di SMA, saya tahu ia seorang gadis yang pandai dan menyenangkan. Setiap kehadirannya membuat suasana menjadi lebih hidup dan sebentar saja mengenalnya, kita akan langsung merasa akrab.

Kami saling bertukar sapa, ia menanyakan bagaimana kondisi Indonesia di tengah pandemi saat ini dan keluarga saya.

Ketika menyerempet masalah keluarga, saya teringat, ia pernah mem-post foto dirinya bertunangan dengan seorang pria. Jauh sebelum ia pindah ke Thailand untuk bekerja di sana.

Bagaimana Kabar Tunanganmu?

Karena kepo sayapun bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu dengan tunanganmu? Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan? Jangan lupa undangan yaa..”

“Aku sudah tidak lagi bertunangan.” Jawabnya. “Sudah agak lama sih, aku membatalkannya.”

Saya tidak langsung menjawab, takut jika banyak bertanya justru mengorek luka lama. Saya sendiri pernah mengalaminya, sebuah kegagalan dalam hubungan. Satu hal yang tak ingin saya bahas dengan siapa saja, apalagi ketika luka masih terasa baru.

“Kamu tahu kan, Fel? Aku sudah pacaran agak lama dengan dia. Ada tiga tahunan, sejak masih kuliah. Lalu setelah lulus kuliah aku sempat sekolah bahasa di Cina, sehingga kami berhubungan secara LDR.”

Tanpa menunggu balasan dari saya, justru ia yang mulai bercerita. Mungkin ia merasa perlu menceritakan hal ini agar dirinya merasa lega. “Setelah kembali dari Cina, kami memutuskan untuk bertunangan. Karena kami juga sudah berpacaran cukup lama dan dua pihak keluarga juga sudah saling mengenal dengan baik.”

“Setelah bertunangan kami langsung mengurus pernikahan. Kami mulai mencari venue dan berbagai vendor yang diperlukan. Kami mencari yang terbaik, karena dalam pikiranku saat itu, menikah hanya sekali seumur hidup. Karena waktunya pas, kami berhasil dealing dengan berbagai vendor dengan diskon yang cukup besar. Tanpa pikir panjang kami langsung transfer uang muka ke berbagai vendor sebagai bentuk pengikatan. So far semuanya berjalan lancar tanpa kendala yang berarti.”

Sambil membaca pesan-pesannya, saya menganggukkan kepala.

“Setelah makin dekat dengan hari H, tiba-tiba ia membuat sebuah pengakuan pada saya. Kamu tahu Fel, dia bilang apa?”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here