Sudah hampir 2 bulan saya bertahan dengan #dirumahaja. Saya bahkan tidak lagi keluar rumah untuk belanja kebutuhan sehari-hari, semenjak semua pembelanjaan bisa dilakukan melalui Whatsapp dan dikirim langsung ke rumah. Praktis, mudah, dan tentunya lebih aman karena kita tak perlu keluar rumah.

Mengapa saya mengambil langkah ekstrim ini?

Mungkin jawaban utamanya adalah kekhawatiran dan ketakutan. Jujur, saya tidak takut jika saya sendiri yang sampai tertular virus COVID 19 ini. Saya justru lebih takut jika sampai menularkan penyakit ini pada kedua anak saya yang masih sangat kecil. Saya pernah melihat mereka harus opname di rumah sakit, dan hati saya berkata, “Tidak. Jangan lagi!”

Namun siapa sangka justru langkah ekstrim saya ini pada akhirnya membawa saya pada sebuah stres dan depresi yang cukup berat. Setiap hari #dirumahaja, berkutat dengan segala pekerjaan rumah, ditambah lagi harus mengajar anak agar jangan sampai ketinggalan materi sekolah, dan tak ada waktu luang untuk diri sendiri (a little escape seperti yang dulu normal saya lakukan sembari berbelanja kebutuhan sehari-hari). Saya mulai merasa jenuh. Ya, jenuh.

Saya jenuh harus terus menerus bersama dengan kedua anak saya. Bahkan setiap waktu bersama suami juga sudah tidak terasa menyenangkan lagi. Saya ingin bisa terbebas barang sejenak dari mereka. Tapi, sekarang tidak memungkinkan.

Saya tahu mungkin ada menertawakan kondisi ini. Bagaimana bisa saya merasa stres dan mungkin depresi hanya karena masalah seperti ini. Mungkin suatu hari saya akan menoleh ke belakang dan berkata hal yang sama. Tapi untuk saat ini, saya benar-benar tidak bisa melihat adanya titik terang. Apalagi, kasus Covid-19 di negara kita bukannya makin mereda, tapi justru makin meningkat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here