Akhir bulan Februari lalu, saya baru pulang dari Bogor dan tiba di Palangkaraya pada tanggal 29 Februari 2020. Tanggal 15 Maret  sudah saya mengalami demam dan batuk. Mentor saya, Pdt. Henry Teddy Tamaela, membawa saya ke RS Siloam untuk melakukan pemeriksaan. Setibanya di sana, perawat melihat adanya gejala Covid-19 dan melakukan rekam jejak perjalanan saya. Dengan demikian, saya ditetapkan sebagai PDP (Pasien Dalam Pengawasan), dan harus menjalani isolasi di RS Doris Sylvanus, Palangkaraya.  Rumah sakit yang menjadi tempat rujukan terkait Covid-19. 

Di ruang isolasi, saya masih belum mendapatkan informasi tentang apakah status kondisi saya negatif atau positif. Masa ini adalah yang terberat selama menjalani isolasi. Ada harapan untuk mendapatkan hasil negatif, tetapi ada kemungkinan besar bahwa saya positif terjangkit.  Pada tanggal 25 Maret, saya mendapatkan hasil pemeriksaan: positif.

Saya terkena Covid-19.

Ketika Kekuatiran Turut Menyerang

Beberapa hari setelah masuk ruang isolasi, dada saya terasa sesak. Saya merasa kesesakan ini karena begitu banyak kebimbangan dan kekuatiran dalam diri. Mungkin bagi orang lain rasa sesak itu akibat ada masalah di paru-paru yang harus diperiksa lebih lanjut, tapi bagi saya nampaknya tidak demikian. Kekuatiran terbesar adalah: “Jika saya positif, bagaimana dengan anggota jemaat lainnya? Apakah mereka akan juga terjangkit? Atau situasi terburuk adalah bisa jadi jemaat menyalahkan dan bahkan mengucilkan saya. ”Pikiran itu yang terus menguasai, karena kenyatannya ada pendeta yang dikucilkan oleh jemaat ketika pendeta tersebut masih dalam status PDP (Pasien dalam Pengawasan).

Kekuatiran yang berlebihan mengakibatkan tubuh saya menjadi sangat lemas dan dada menjadi sesak. Akibatnya, saya pun harus dipasang tabung oksigen. Keesokan harinya, setelah bersaat teduh, saya membaca pesan WA dari banyak orang. Pesan WA menunjukkan, mereka ternyata turut mendukung dan mendoakan. Bahkan dari  anggota jemaat, tidak ada satu pun dari mereka yang mengucilkan saya.

Membaca semua pesan itu, saya merasa Roh Kudus mengambil alih semua ketakutan dan kekhawatiran saya. Semua diubah menjadi suatu kebahagiaan dan semangat yang memuncak. Setelah kejadian itu, bahkan sampai saya kemudian hari diperiksa kembali dan ditetapkan negatif oleh pihak rumah sakit, tidak pernah sekalipun saya merasakan sakit, batuk, demam, bahkan sesak napas. Saya menyadari, bahwa kesesakan yang saya alami lebih dipengaruhi oleh besarnya kekuatiran, dibandingkan dengan virus itu sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here