“Justru kerja dari rumah itu lebih sulit,” kata seorang ibu muda, mengomentari fenomena work from home. “Di rumah, kita bukanlah seorang karyawan.”
Menyandang peran sebagai Mama, kegiatan menyusui anak, mendampingi anak, bahkan bermain bersama anak tidak bisa dihindari. Tak jarang, Mama harus menyusui sambil conference call.
“Anak mana ngerti kalau Mamanya sedang work from home,” curhat sang ibu. “Terutama mereka yang masih kecil.”
Tadinya saya setuju, bahwa yang kecil, apalagi bayi, sulit memahami artinya, “Mama kerja dulu ya.” Namun seorang bapak dengan anak remaja menceritakan pengalamannya, “Anak yang besar juga tidak paham Papanya sedang work from home. Kalau nggak didampingi juga nggak teratur hidupnya. Jadinya saya malah lembur sampai jam 12.”
Bagi anak, berapapun usianya, Papa dan Mama adalah orang tua. Bukan pimpinan, bukan karyawan, bukan pekerja. Jadi, kita tak perlu iri dengan mereka yang punya anak lebih besar. Menghadapi anak yang lebih besar juga punya tantangannya sendiri.
Baru terinterupsi dengan mengurus anak, work from home sudah amburadul. Belum lagi mengurus rumah.
“Sebenarnya ada ART sih, tapi aku rumahkan juga,” curhat seorang ibu lainnya. “Demi kebaikan kita dan juga dia sendiri.” Oleh karena itu, mau tidak mau sang ibu pun harus bersih-bersih rumah.
“Oke, mestinya itu bisa dilakukan pagi-pagi sekali atau sore di luar jam kerja. Tapi kenyataannya tidak selalu bisa seperti itu. Apalagi kalau ada bayi yang akan memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut. Rumah harus benar-benar bersih setiap saat.”
Pada saat yang sama, work from home menuntut komitmen dengan tanggung jawab yang bisa jadi lebih besar daripada kalau kita pergi bekerja ke kantor.
“Kami diharuskan membuat laporan kegiatan yang terperinci. Jam berapa ngerjain apa. Lalu, setiap sore wajib mengirimkan WFH report.”
Ketika ada di rumah, sulit sekali untuk bekerja dengan ritme yang sama seperti saat di kantor. Namun, bisakah hal tersebut diterima? Dapatkah rekan kerja, bahkan atasan kita memahaminya?
“Itu sudah kami pikirkan,” kata seorang manajer yang saya kenal. “Memang hampir mustahil bagi semua karyawan untuk produktif dari rumah pada situasi seperti sekarang ini. Tapi kita selalu bisa menjaga integritas kita, bukan?”
“Seharusnya kita bersyukur, masih bisa kerepotan menyeimbangkan peran kita di rumah, dengan profesionalitas dalam menyelesaikan pekerjaan kantor,” sambungya lagi.
“Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa work from home?” Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan, “Ada kalanya mereka terpaksa harus mengalami pemutusan hubungan kerja.” Mau bagaimana lagi? Tidak ada pekerjaan untuk mereka, tidak ada penghasilan yang bisa mereka peroleh.
Sayang, tak semua pihak bisa memberi kejelasan. Bukan hanya kekasih yang suka menggantungkan hubungan.
Seorang guru honorer menyampaikan kisahnya. Tak mengajar, tak digaji. Work from home? Tidak memungkinkan. Hanya para guru full timer yang bisa. “Mau resign nggak boleh sama sekolah. Tapi saya juga nggak digaji. Nggak tahu sampai kapan.”
Ah, entah sampai kapan work from home krisis ini berlangsung. Namun mengeluhkannya saja tidak akan pernah jadi solusi.
Setuju?