Belakangan ini, akrab di telinga kita sebuah istilah yang hadir bersamaan dengan kehadiran virus Covid-19 yang merebak. Istilah itu tidak lain adalah social distancing. Ini merupakan tindakan menjaga jarak dari kerumunan atau kedekatan dengan manusia lain guna memperlambat penyebaran suatu penyakit. Pemerintah telah mengumumkan berkali-kali melalui media sosial agar setiap warga melakukan social distancing tersebut dengan tidak keluar rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, bahkan beribadah di rumah.
Namun bagi sebagian orang, menaati hal tersebut bukanlah perkara yang mudah. Terutama beberapa orang yang terlahir sebagai seorang ekstrovert seperti saya akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya. Seorang ekstrovert mendapatkan kekuatan dari kehidupan sosialnya. Saya sempat menerapkan social distancing selama beberapa hari saja dengan tidak bepergian ke tempat umum, berusaha diam di rumah kos, dan tidak banyak bersentuhan langsung dengan orang-orang di sekitar.
Yang terjadi ialah: hanya dalam kurun waktu hampir satu minggu, saya mengalami stres yang lumayan menyiksa. Entah apakah hanya saya yang mengalaminya, ataukah ada orang lain juga merasakan hal yang sama. Satu hal yang pasti, saya tahu bahwa saya tidak bisa terus berada dalam kondisi seperti ini. Akhirnya saya memutuskan untuk mengungsi ke Bandung dan tinggal bersama sahabat saya untuk beberapa waktu lamanya. Setidaknya “mengarantina” diri bersama sahabat lebih memungkinkan daripada melakukannya seorang diri.
Selama beberapa hari di Bandung saya merefleksikan beberapa hal dari peristiwa ini.
Pertama, ada saatnya kita harus menyangkali natur demi tujuan yang luhur
Sedari kecil, kita semua belajar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup seorang diri, dan membutuhkan komunitas sosial di sekitarnya. Bersosialisasi adalah natur manusia yang mendarah daging. Itu sebabnya ketika zaman berubah menjadi zaman yang dipenuhi gawai (gadget), banyak kritikus sosial yang mengingatkan agar jangan terlalu asyik sendiri dengan gawai, namun ingatlah juga lingkungan sosial di sekitarmu, dan tetaplah bersosialisasi. Semua itu atas dasar bahwa natur kita manusia adalah makhluk sosial.