Setelah sekian lama memantau perkembangan virus Covid-19 dan pengaruhnya pada masyarakat, khususnya usaha pemerintah untuk menjaga penyebaran virus ini, akhirnya apa yang saya dan beberapa rekan minum kopi pikirkan terjadi juga. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil langkah yang bijak yakni Social Distancing:
“Saatnya kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah.”
SOCIAL DISTANCING dengan pengertian dasar ‘social’ (sosial) dan ‘distance’ (jarak) atau pembatasan sosial merupakan gerakan untuk mengimbau seseorang atau masyarakat untuk menghindarkan diri untuk hadir di pertemuan besar atau kerumunan orang secara fisik. Ini tentu berbeda dengan bersikap anti-sosial (ansos). Ini dilakukan agar dapat menekan angka penyebaran virus Covid-19 yang semakin meningkat di negeri ini.
Banyak orang merasa keputusan ini merugikan, khususnya bagi para penyelenggaran acara-acara besar yang telah dipersiapkan dan terpaksa harus ditunda. Atau para pedagang yang harus menutup toko untuk sementara. Bahkan tempat-tempat ibadah pun mau tidak mau ditutup sementara, beberapa gereja pun memutuskan untuk mengadakan ibadah secara live-streaming. Keputusan seperti itu tidak selalu bisa menyenangkan semua orang.
Namun, di luar perdebatan pro-kontra tentang keputusan terkait pembatasan sosial, ada tiga hal yang membuat saya menyambut baik hal ini, bukan karena saya merasa ini adalah kesempatan untuk berlibur, melainkan kesempatan untuk mengecas ulang 3 hal berikut:
1.Mengecas ulang diri dari kehidupan supersibuk
Alli Worthington di dalam bukunya “Breaking Busy” memberikan sebuah ciri hidup zaman ini dengan sebuah istilah ‘Crazy-busy’. Apa itu? Menurutnya, “Crazy busy is a life without peace”, kehidupan yang penuh dengan kegiatan bekerja tanpa henti, dikejar berbagai tuntutan profesi yang kemudian melahirkan perasaan lelah, stres, burnout, dan hampa.
Menurut tulisan Ray Williams yang dimuat di majalah Psychology Today pada tahun 2008, ketika ia melakukan penelitian tentang tingkat kesibukan orang dari tahun ke tahun, ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa kesibukan seseorang tidak pernah berkurang, setiap tahun justru semakin sibuk dan sibuk. Makin banyak agenda yang perlu dikerjakan dan makin banyak tuntutan yang perlu dibayar.
Kesibukan menjadi tanpa batas, padahal waktu begitu terbatas, sehari hanya 24 jam. Akhirnya banyak orang melalaikan jam tidurnya. Memaksa tubuhnya dengan mengomsumsi obat untuk tetap segar dan beraktivitas. Pola hidup seperti ini merupakan langkah bunuh diri secara perlahan.
Worthington mengilustrasikan bahwa hidup manusia sebenarnya seperti sebuah gawai. Setiap gawai didesain dengan mode tertentu dan kapasitas tertentu. Ada gawai yang memiliki memori besar sehingga dapat menampung banyak data di dalamnya. Dan ada kapasitas baterai yang memompanya untuk tetap dapat aktif bekerja. Namun semua itu serba terbatas. Ketika gawai habis baterai, ia perlu dimatikan, dicas hingga penuh sebelum dapat kembali beroperasi.
Manusia pun sebenarnya demikian. Kita diciptakan dengan memori dan kapasitas baterai yang berbeda-beda, tergantung keahlian dan kekuatan fisik. Namun semua serba terbatas. Jika seseorang telah lama bekerja, pastilah kapasitasnya habis. Itulah sebabnya ia perlu mengecas dirinya. Ia perlu berhenti dan rehat sejenak dari kesibukannya. Dengan begitu ia akan kembali dapat bekerja. Ingat bahwa gawai yang memiliki banyak aplikasi akan semakin mudah kehabisan baterai. Begitu juga dengan diri Anda, semakin banyak pekerjaan, Anda akan semakin terkuras.
Pembatasan sosial memang merupakan hal yang langka. Namun inilah kesempatan yang baik untuk anda mengecas kembali diri Anda dengan berdiam diri di rumah.