“Bu Yenny, ya?” sapa seorang wanita penjaga toko di Bali.
Saya menoleh, mencoba mengingat-ingat siapa yang menyapa. Namun saya nge-blank.
“Saya Meta, Bu. Yang dulu pernah Bu Yenny muridkan,” terangnya.
Ingatan saya melayang pada peristiwa puluhan tahun lalu, ketika masih tinggal di Jawa Tengah. Di gereja kami ada pemuridan one on one. Meta adalah salah satu yang saya muridkan.
Meta hidup bersama dengan pacar pertamanya saat saya mengenalnya. Mereka sedang menanti proses perceraian sang pacar dengan istrinya. Sementara Meta sendiri sudah bercerai dari suaminya. Kedua anaknya ikut Meta dan dirawat oleh mamanya Meta.
“Suami saya suka berjudi, bu,” jelas Meta waktu itu. “Saya tidak tahan dia suka pulang subuh. Tapi untunglah, setelah bercerai, ia tetap rutin membiayai anak-anak.”
Ketika dianjurkan untuk kembali pada suaminya, ternyata sang suami sudah menikah lagi dan memiliki seorang bayi.
Hidup adalah serangkaian pilihan yang harus dibuat
Meta percaya bahwa cinta pertama tidak pernah mati. Suatu saat dia bertemu kembali dengan mantan pacar, gayung pun bersambut. Rumah tangga sang mantan pun sudah di ujung tanduk. Maka mereka memutuskan untuk jadian dulu, hidup bersama, sambil menunggu proses perceraian diketok palu hakim.
Rupanya rencana tidak berjalan semulus yang diharapkan. Tanpa setahu Meta, sang pacar masih berhubungan dengan istrinya. Pria ini galau antara kembali kepada istrinya atau menikahi Meta. Keluarga istrinya mengharapkan kedua insan ini bersatu kembali. Pendekatan antar keluarga gencar dilakukan.