Kebaktian duka dilanjutkan. Kidung-kidung dinyanyikan. Penghormatan terakhir diberikan para pelayat kepada almarhum. Peti jenazah akhirnya ditutup, disaksikan oleh sepasang mata istri yang dibanjiri air mata kehilangan.
Malam itu saya belajar besarnya kekuatan cinta lewat pasangan yang dipisahkan maut. Ekspresi cinta telah dihalangi oleh peti jenazah, tapi energinya tak dapat disaingi oleh kehilangan. Tubuh tak lagi dapat dilihat dan disentuh indera, tapi jiwa dan dayanya diwariskan kepada sang kekasih. Kehilangan memang menyesakkan raga, tetapi di balik itu ada cinta yang tak pernah lenyap dari sukma.
Tangan lembut sang istri tak hanya menerima bela sungkawa, tetapi menjabat tangan kami kuat seperti menularkan asa. Tubuh mungilnya terlihat kelelahan; menjaga suami yang dalam keadaan kritis hingga hari-hari di rumah duka tentu membuatnya letih. Namun di dalamnya tersimpan kekuatan yang luar biasa; warisan pengharapan dan doa dari sang suami yang mencintainya hingga akhir hayat.
“Saya masih perlu meratap dan belajar hidup tanpa dirinya. Saya masih tidak tahu harus bagaimana setelah (rangkaian kedukaan) ini. Namun saya sudah berjanji kepadanya untuk terus melangkah dan menemukan jawaban.”
Cinta memang sebatas “hingga maut memisahkan”, tetapi ia menjadi bahan bakar kehidupan bahkan ketika ia telah berada di balik pintu kematian. Cinta memang harus melepaskan di ambang pintu maut, tetapi ia tinggal dan menetap dalam kenangan kehidupan.
Cinta memang tak memberi jawaban atas segala pertanyaan, tetapi ia mendorong dan memberi daya untuk mencari jawaban kebahagiaan.