Saya duduk di pojok belakang ruang duka yang penuh dengan para pelayat. Dari kejauhan, kesedihan dan kehilangan tampak jelas di wajah istri almarhum. Saya memang tak mengenalnya secara pribadi. Saya mengenal almarhum suaminya ketika beliau menjadi rohaniwan di gereja suami saya.
Almarhum meninggal dalam usia muda setelah berjuang melawan kanker. Semangat hidup dan perjuangannya sangat menginspirasi. Tapi malam itu, kesaksian dan penuturan sang istri, yang mencoba tetap tegar berdiri di samping peti mati, menggetarkan hati saya.
Ia mengisahkan secuplik kisah perjuangan suaminya dalam melawan kanker. Suaranya tegas dan sangat tenang. Namun duka tak terbendung ketika ia mengisahkan percakapannya dengan sang suami menjelang ajal menjemput, “Apa yang harus saya lakukan kalau kamu tiada? Saya harus bagaimana?”
Keheningan kemudian menyeruak dan memenuhi seisi ruangan. Dengan mengusap air mata yang tak terbendung, sang istri berusaha untuk menguatkan diri untuk melanjutkan.
“Saya memegang tangannya yang makin kurus. Saya menunggu ia menjawab. Dengan senyumnya yang lebar itu ia mengatakan, ‘Lakukan hal yang membuatmu bahagia. Kamu selalu suka mengajar, kamu bisa mencari sekolah dan menjadi guru di sana. Suasana baru mungkin menjadi energi segar untuk kamu terus melangkah. Kamu bisa tetap tinggal di sini, di gereja ini. Orang-orang yang sudah kamu kenal, suasana yang nyaman untukmu, dan kenangan kita juga bisa mendorongmu untuk membuka lembaran baru. Apapun pilihanmu, aku ingin kamu terus melanjutkan hidup. Hidupku mungkin segera berakhir, tapi hidupmu masih panjang. Isilah dengan kebahagiaan.’
Ia tak lagi mampu melanjutkan. Ia terisak dan terus berusaha menyeka air mata. Puluhan pasang mata yang ada di ruangan itu juga basah, merasakan duka dan kehilangan yang dalam.
“Hari ini adalah hari terakhir saya melihat tubuhnya. Saya mungkin tak bisa lagi memeluknya, tak bisa lagi menatap wajahnya. Tetapi saya memilih untuk memakai semangat hidupnya, mengingat pesan-pesan terakhirnya, dan melanjutkan langkah dengan kenangan tentangnya.”