Kapan terakhir kali berdialog? Ya, berdialog alias ngobrol. Bertukar gagasan dan perasaan.

Kapan terakhir kali berdialog dengan suami?
Kapan terakhir kali berdialog dengan anak?
Kapan terakhir kali berdialog dengan orangtua?
Kapan terakhir kali berdialog dengan istri?
Kapan terakhir kali berdialog dengan adik?

Kemarin?
Minggu lalu?
Bulan lalu?

Mungkin akhir-akhir ini, dalam keluarga, masing-masing anggotanya hanya melakukan sekumpulan monolog satu pada yang lain.

Monolog hanya butuh kemampuan bicara. Dialog membutuhkan kemampuan yang lebih kompleks: menangkap apa yang dibicarakan, mengapa dibicarakan, kapan saat yang tepat untuk berbicara dan menahan bicara, apa resiko membicarakannya, apa resiko bila tidak membicarakannya.

Tentu saja dialog membutuhkan kemampuan mendengarkan. Mendengarkan untuk memahami dan bukan untuk menjawab. Ini membutuhkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian kepada orang lain, sekaligus mengendalikan diri. Tak mudah bukan bukan?

Kadangkala kita sepertinya mendengarkan, namun dengan gawai di tangan, perhatian terbagi. Mata menatap layar, tangan membalas pesan, hanya tersisa telinga untuk mendengar. Tentu saja tidak dengan konsetrasi penuh. Mengubah dialog yang diharapkan orang lain menjadi sebuah monolog.

Dialog itu tak mudah bukan? Jauh lebih mudah melakukan monolog alias ngomong sendiri kepada orang lain. Entah orang itu mendengarkan dengan baik atau tidak. Atau sebaliknya: kita yang membuat orang lain melakukan monolog dengan keenganan untuk memperhatikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here