Pembicaraan malam hari para mama-mama muda memang memiliki kenikmatan tersendiri. Setelah sibuk seharian mengurus anak, waktu malam hari ketika si kecil telah tertidur nyenyak, para mama akhirnya bisa memegang handphone dan mengobrol, berbagi cerita dan keluh kesah bersama para mama lainnya.
Malam ini saya berbagi cerita dengan seorang kawan lama yang baru empat bulan ini menjalani kehidupannya sebagai seorang full time mom. Sebuah keputusan besar yang dibuatnya setelah diskusi panjang dengan suami dan doa tiada henti.
Keluarga muda yang tadinya memiliki dua sumber penghasilan, harus kehilangan salah satu, dan kini semua beban ada di pundak suami seorang. Tentu tidak mudah baginya.
Namun, kawan saya mantap dengan keputusannya dan ia tak menyesalinya.
Saya menanyakan padanya, bagaimana perasaannya?
Berat (secara ekonomi), pastinya. Namun, ternyata ia sangat menikmati profesi barunya kini: seorang ibu.
Ia menceritakan bagaimana ia memilih untuk dekat dengan anaknya dan terlibat secara langsung dalam setiap perkembangan anaknya.
“Do you think it’s worth the sacrifice?” tanya saya.
“For sure!” jawabnya mantap. “Bosen iya sudah mulai jenuh sana sini, tapi suami untungnya pengertian, diajakin keluar ke Alfamart aja sudah senangnya luar biasa.”
Saya tertawa kecil mendengar ucapannya, karena saya paham benar bagaimana perasaannya.
“Lalu bagaimana suka dukamu sekarang mengurus anak?”
Saya mengenal kawan ini cukup lama dan cukup dekat. Ia sendiri bekerja di bidang pendidikan dan banyak dikelilingi oleh anak-anak kecil.
Saya yakin ia bisa lebih sabar menghadapi segala kenakalan anak-anak dibandingkan saya.
Ternyata saya salah.
“Saya senang saya lebih dekat dengan anak. Tapi terkadang saya suka menyesal setelah memarahi anak atau setiap saya berkata, ‘Mama capek!’ Tapi setiap kali kejadian, entah anak rewel, ga mau tidur, ga mau makan, akhirnya saya marah-marah lagi, keluarlah kata-kata itu lagi,” ujarnya.
Lagi-lagi, saya bisa memahami perasaannya.
Itu juga satu hal yang masih saya perjuangkan hingga kini.
Setiap pagi saya bangun dengan komitmen tidak akan emosi, tidak perlu memarahi anak. Lebih baik sabar dan bicara baik-baik. Namun, ketika malam tiba, pikiran saya dipenuhi oleh penyesalan mengapa saya tidak bisa lebih sabar dan menahan emosi, mengapa saya harus memarahi anak dan melontarkan kata-kata yang bisa menyakitkan hatinya.
Baca Juga: Untuk Bagian Terberat dari Menjadi Seorang Ibu Ini, Akan Menyerahkah Engkau, Mama?