Dunia pendidikan, khususnya di Malaysia, sedang mendapat sorotan saat seorang bocah berusia 13 tahun bunuh diri di kamar mandi rumahnya karena tidak bisa mengerjakan PR. Pertanyaan yang timbul, apakah anaknya lamban, PR-nya yang terlalu banyak, atau sistem pendidikan yang keliru?
Belum lama ini saya menyaksikan film Bad Genius yang menunjukkan kecenderungan anak zaman sekarang yang suka instan.
Irisan apa yang bisa kita lihat dari dua peristiwa ini?
Pertama,
yang satu terjadi di dunia nyata, yang kedua di dunia maya.
Meskipun begitu, saya percaya film Bad Genius dibuat berdasarkan fakta di lapangan.
Seberapa banyak pelajar di Indonesia yang diiming-imingi soal ujian yang bocor sampai rela membujuk orang tua untuk membelikannya? Yang lebih parah, berapa banyak orang tua yang justru membelikan anaknya soal bocoran agar anak-anaknya bisa mengerjakan ujian? Atau, jauh lebih parah, orang tua yang meskipun anaknya pandai tetapi tidak pede atau bahkan takut dikalahkan oleh anak kurang cerdas yang nilainya lebih tinggi karena membeli soal bocoran itu?
Kedua,
apakah beban pelajaran yang diberikan sekolah lebih besar dari daya tahan anak untuk menanggungnya?
Tentu saja hal ini tidak bisa dipikirkan sendiri, melainkan kelompok. Diknas dan jajarannya—dengan masukan dari murid dan orang tua serta para pakar pendidikan—perlu menggodok isu ini lebih lanjut.
Ketika melihat murid-murid SD zaman now yang membawa ransel seperti hendak berkemah di gunung, hati saya ikut miris dan trenyuh. Tuntutan sekolah saat ini memang beda jauh dengan saat saya sekolah dulu.
Ketiga,
seberapa tangguh murid zaman sekarang ditentukan oleh seberapa besar peran orang tua, guru, dan masyarakat.
Coba tanyakan kegiatan anak-anak usia sekolah di rumah. Jawabannya akan diisi dengan les ini dan les itu, pengayaan ini dan pengayaan itu, ekstrakurikuler ini dan ekstrakurikuler itu.
Lalu, kapan mainnya? Bukankah “All work and no play makes Jack a dull boy”?