Saya pernah membaca sebuah cerita yang menarik, tentang seekor gajah liar yang terpaksa keluar dari habitatnya, lalu masuk ke pemukiman warga. Nahasnya, gajah liar tersebut tertangkap. Demi keamanan bersama, warga sepakat untuk mengikat gajah tersebut dengan sebuah rantai yang kuat sepanjang kurang lebih 10 meter. Gajah tersebut meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun rantai yang mengikatnya lebih kuat. Gajah itu tidak bisa kemana-kemana. Dia hanya bisa bergerak sejauh 10 meter, yaitu sepanjang rantai itu saja.
Beberapa hari kemudian, lambat laun si gajah merasa capek dan merasa tidak mungkin dapat melepaskan diri dari ikatan rantai itu. Akhirnya dia menerima kondisi dirinya yang terikat dan hanya bergerak sejauh panjang rantai, yaitu sejauh 10 meter saja.
Warga yang melihat bahwa gajah itu kini menjadi jinak, akhirnya mengganti rantai tersebut dengan rantai lain yang diameternya lebih kecil. Sebenarnya ini adalah sebuah kesempatan yang baik untuk sang gajah, karena dengan rantai kecil itu, jika dia mau, dia bisa melepaskan dirinya dengan lebih muda. Namun, gajah itu masih merasa kakinya diikat rantai yang besar sehingga dia merasa tidak ada gunanya melepaskan diri. Dia menerima kondisinya yang terikat ketika situasinya sebenarnya sudah berubah dan memungkinkan dia untuk melepaskan diri.
Ketika membaca cerita ini dan melihat kembali kehidupan yang saya jalani sendiri, saya temukan bahwa:
Masa Lalu tak harus menjadi masa depan. Masa lalu bukanlah masa depan kita.
Sebuah Pengalaman Pribadi
Saya dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Orangtua saya hanya sanggup menyekolahkan saya dan adik-kakak saya sampai SMA saja. Jika saya merasa bahwa masa lalu saya sama dengan masa depan saya, maka saya akan menerima kenyataan tersebut, bahwa saya hanya bisa menempuh pendidikan sampai level SMA saja dan tidak pernah berusaha untuk merubahnya. Saya akan merasa sukup menjadi lulusan SMA saja dan kemudian saya akan mencari pekerjaan sama seperti saudara saya yang lainnya.
Baca juga: Karena Bekerja Bukan Cuma Perkara Hasilnya Berapa
Itulah yang memang sempat ada di dalam pikiran saya. Ketika saya mulai bekerja sebagai operator telepon di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya, saya merasa hal tersebut sudah cukup. Saya sudah bisa mendapat penghasilan sendiri, bisa sedikit membantu orangtua maupun keluarga.
Namun saya mendengar cerita ada seorang yang dulunya bekerja di bagian kebersihan kemudian memutuskan kuliah. Karena prestasi kerja dan pendidikannya, dia dipindahkan ke bagian pembelian sampai akhirnya menjadi Supervisor Pembelian.
Itu adalah titik balik dalam kehidupan saya yang membuat saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Saya mau hidup yang lebih baik, yang salah satunya bisa saya capai jika saya memperoleh pendidikan lebih tinggi, walaupun untuk itu saya harus mengajukan pinjaman untuk membayar uang gedung biaya kuliah.
Singkat cerita saya kuliah sambil bekerja. Selama 4 tahun saya jalani hal tersebut, sampai akhirnya setelah lulus saya saya ditarik menjadi staf HRD. Saat ini saya bekerja sebagai HR Manajer di sebuah PMA yang berkantor pusat di Belanda.
Dari Cukup Bisa Berkekurangan atau Sebaliknya
Masa lalu bukan masa depan kita. Mungkin kita lahir di tengah keluarga yang berkecukupan, dan itu bukan berarti keluarga kita nantinya juga PASTI berkecukupan. Jika kita punya pikiran bahwa kita akan selalu berkecukupan seperti itu dan akhirnya kita hidup santai, tidak berusaha, dan berhura-hura, maka dapat dipastikan masa depan kita akan suram.
Masa lalu bukan masa depan kita. Mungkin kita lahir di dalam keluarga yang sederhana dan pas pasan. Ini pun bukan berarti kehidupan keluarga kita nantinya juga akan seperti itu. Jika kita berusaha keras dan bersikap cerdas, serta hidup dengan benar, maka hasilnya tidak akan pernah mengecewakan. Masa depan kita tak ditentukan masa lalu.
Masa depan kita ditentukan oleh tiga hal ini: pikiran, keputusan dan tindakan kita.
Pikirkan semua hal yang baik, besar dan benar. Ambil keputusan untuk melakukannya. Mulailah hal tersebut: sekarang!
Baca Juga: