Kita sebagai rekan terdekat korban

Dalam kondisi seperti ini, bukan nasehat yang mereka perlukan. Kata-kata motivasi seakan terasa hambar dan tidak mempan lagi. Kalau orang-orang terdekat malah memberikan terlalu banyak teori, bahkan menghakimi, mereka bisa semakin depresi.

Kehilangan orang yang mereka harapkan bisa menjadi sahabat mereka seumur hidup tentu sulit diterima. Mereka butuh orang lain yang rela menyediakan waktu dan telinganya untuk menumpahkan kesedihan. Mereka butuh tempat untuk menceritakan kenangan bersama pasangannya sebelum akhirnya bisa melepasnya.

Jika memang kita menyatakan turut berbelasungkawa, lebih baik buktikan rasa empati kita dengan kehadiran. Cukup sediakan waktu, raga dan telinga untuk menyatakan bahwa kita ada bersama mereka.

Baca Juga: Menjadi Teman Perjalanan Seorang Penderita Depresi, Begini Rasanya. Jika Anda Tahu Siapa Penderita Depresi Itu, Masih Bersediakah Anda?

 

Kita sebagai netizen

Daripada sibuk mempermasalahkan dosa siapa yang mengakibatkan tragedi ini terjadi, lebih baik tengok pasangan kita dan bertanya: “kok kamu masih hidup?

Ya, apa dasarnya kita dan orang-orang yang kita kasihi masih diijinkan hidup? Adakah kita lebih suci dari orang-orang yang menjadi korban? Rasanya tidak. Itu semua karena anugerah. Anugerah bagi kita untuk memperbaiki diri dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mengasihi pasangan kita.

Ingat, pasangan kita bukan milik kita. Kita hanya dipinjamkan untuk sementara waktu. Sampai pada saatnya nanti Sang Empunya Kehidupan memanggilnya pulang, Entah kita duluan atau pasangan kita duluan.

Kasihilah pasangan kita selagi dia masih hidup, sebelum air mata penyesalan datang membayang-bayangi kita tatkala mereka sudah tidak bersama kita lagi untuk selamanya.

Inilah kado terbaik yang bisa kita berikan. Kasih selagi masih hidup, bukan saat nafas sudah tidak berhembus. Click To Tweet

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here