“Mas, sudah menikah?” tanyaku pada sopir kendaraan daring yang duduk di sebelahku. Aku sengaja memilih duduk di depan agar bisa ngobrol dengan si mas driver ini.
“Ya, dulu pernah, Mas” jawabnya tanpa ekspresi.
“Maksudnya gimana, Mas?” Aku jadi sedikit kepo mendengar jawaban seperti itu.
“Ya, saya dulu pernah menikah, Mas. Tapi sekarang sudah cerai.”
“Loh, kok bisa, Mas?” Prihatin juga mendengarnya, meski terus terang, penasaran.
“Ya, bisa, lah, Mas. Saya sudah berusaha bertahan, tapi mantan istri saya sudah nggak mau lagi. Ya, mau gimana lagi?” Amarah tertahan tampak di wajahnya.
“Gini deh, Mas, kalau mau tahu alasannya. Ini menurut versi saya, ya. Kalau tanya mantan istri saya, pasti beda lagi. Bagi saya, dia itu egois. Gak mau menghargai saya sebagai seorang suami. Saya gak tahan. Setelah sepuluh tahun menikah, akhirnya kami memutuskan untuk bercerai.”
“Loh, sebenarnya inti masalahnya apa, Mas?” Aku semakin penasaran.
“Hmm… saya gak mau bela diri. Intinya, kami sama-sama egois.”
Ia kemudian meraih handphone-nya yang sedang tersambung dengan alat pengisi daya. Ia menunjukkan foto seorang gadis kecil cantik kepadaku.
“Ini anakku, Mas,” katanya. “Sekarang ia dirawat ibunya. Saya yang mengusulkan ide itu. Saya pikir, di usia kecilnya, ia lebih butuh sosok ibu.”
“Oh … begitu ya, Mas.”
Dalam hati aku berucap, “Memangnya dia gak butuh sosok papa?” Meski kemudian aku tersadar,
bagaimana mungkin mengharapkan sesuatu yang ideal dari sebuah perceraian?
“Sebelumnya pernah ada usaha penyelesaian, Mas?” tanyaku memecah keheningan.
“Mas, saya ini juga orang Kristen, sama kayak Mas. Saya meyakini Tuhan adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan permasalahan di dalam keluarga saya. Nah, di sini masalah besarnya, Mas. Ketika saya mengajaknya untuk ngobrol soal agama, dia langsung menutup diri, antipati sekali.”
Ia kemudian melanjutkan,
“Kalau udah mulai ngomong agama, pasti jadi masalah besar.
Perbedaan agama membuat masalah rumah tangga terasa jauh lebih sulit diselesaikan. Keyakinan dan pemahaman kami berbeda untuk hal-hal yang ternyata sangat mendasar.
Misalnya, saya meyakini perceraian itu bukan pilihan. Sudah menikah ya, tidak boleh bercerai. Tapi mantan istri tidak sepaham dengan saya.”
Penyesalan bercampur amarah terdengar dari nada suaranya saat mengucapkan rangkaian kalimat itu.
“Lalu, apa rencana selanjutnya, Mas?” Aku bertanya lagi.