Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengeluh dan menangisi keadaan yang telah terjadi. Tidak, saya haya ingin berbagi kisah saja.
Perceraian dalam sebuah pernikahan memang akan mengubah segala hal. Dunia tidak akan pernah sama lagi.
Anak-anak korban perceraian akan merasakan seolah ada sekeping puzzle kehidupan mereka yang hilang. Kehilangan orang tua karena perceraian adalah sebuah hal yang tidak diinginkan.
Namun, tunggu dulu …
Ternyata tidak semua anak merasakan kebahagiaan meskipun mereka berada dalam sebuah keluarga yang “utuh”. Share on X
Kehadiran ayah dan ibu yang terlihat bersatu secara fisik akan berubah menjadi sebuah bencana yang tidak kalah menyedihkan dari perceraian fisik dan yang dilegalkan oleh hukum karena diserang sebuah bencana. Bencana itu bernama “emotional divorce”.
*****
Sejak kecil, saya melihat ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan kedua orang tua saya. Mereka sering sekali beradu argumen di depan kami, anak-anaknya. Dari sekian memori yang berkelebat dalam benak saya, hanya ada sedikit sekali kenangan yang menangkap momen kemesraan mereka berdua.
Kami dikenyangkan dengan uraian perkataan pedas yang diucapkan Papa setiap hari kepada istrinya. Bentakan dan kata-kata kasar yang sering dilayangkan Papa kepada Mama saya membuat kami ketakutan. Meskipun Mama nyaris tidak pernah menangis dan mengeluh atas segala tindakan tidak menyenangkan yang ia terima, tetap saja anak-anaknya tidak bisa menerima ketidaknyamanan tersebut.
Perkataan “cerai” mudah sekali terucap dari bibir Papa saat bertengkar dengan Mama. Namun, tidak pernah ada ucapan serupa yang keluar dari mulut Mama. Ia hanya memilih berdiam, bertekun, dan tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Sesekali memang ada perlawanan verbal dari Mama, namun selebihnya diam tetap menjadi pilihannya.
Keadaan rumah menjadi semakin “panas” ketika Papa tidak mampu menghidupi anak istrinya lagi. Ia menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada Mama. Sejak hari itu, Sang Tulang Rusuk berubah fungsi menjadi Si Tulang Punggung keluarga. Hebatnya lagi, Mama tidak pernah mengeluh – sekalipun makian dan kata-kata kasar masih menjadi menu utama yang ditawarkan suaminya kepada beliau.
Saat usia saya memasuki fase remaja, Papa yang terlihat frustrasi oleh keadaan sering melampiaskan kejengkelannya dengan menghujani anak-anak perempuannya dengan perkataan kasar. Mulai dari makian yang seperti kebun binatang hingga ancaman membunuh. Ketika kami mengadukan hal tersebut kepada Mama, beliau tidak memberikan respons apa pun. Kami hanya diminta untuk mengerti, “Papa memang begitu. Kalian harus paham kalau dia tidak bijak.”