“Jodoh adalah titik temu antara kehendak Tuhan dan selera manusia.” – Wahyu Pramudya
“Cinta itu tidak buta, Pak Xavier. Cinta itu melihat,” ujar seorang usahawan kepada saya di resepsi pernikahan seorang sahabat yang saya pimpin.
Saya setuju.
Siapa yang bilang cinta itu buta? Kalau cinta itu buta, mengapa kita harus memilih pasangan hidup kita? Share on XNamun, ada kalanya cinta memang buta karena orang bisa jatuh cinta. Bukankah jatuh karena tidak melihat dan tersandung? Wkwkwk.
Dari puluhan tahun membimbing calon pasangan suami-istri memasuki pernikahan dan berulang-ulang memimpin camp anak-anak muda bertajuk “Young Professional Camp” di Australia, saya mendapatkan pola atau peta yang kiranya berguna untuk menuntun anak-anak muda menemukan pasangan mereka.
1. Cinta itu melihat dan lihatlah dengan mata yang tajam
“Sebelum menikah, bukalah mata lebar-lebar. Setelah menikah, tutuplah mata rapat-rapat.” Pernah mendengar nasihat itu? Meskipun kuno, tetapi sampai sekarang saya masih menemukan validitasnya.
Jatuh cinta pada padangan pertama sangat berbahaya. Mengapa? Karena kita belum tahu banyak hal tentang calon istri atau suami kita.
Suatu hari saya jalan-jalan bersama sahabat saya, Chrisly, di Singapura. Saya hendak membeli baju. Tiba di sebuah toko, saya mendapatkan kemeja yang sesuai selera saya. Warnanya pas dan tidak terlalu mencolok. Karena saya tidak terlalu pemilih, apalagi rewel, saya membawanya ke kasir dan membelinya. Pagi hari, saat saya membuka tas belanjaan saya, saya kaget. Kemeja saya yang semalam tampak indah, saat terang warnanya terlalu mencolok dan tidak sesuai selera saya. Saya baru ingat bahwa kalau membeli kain atau baju jangan malam hari. Mengapa? Karena cahaya lampu bisa memanipulasi warna. Kini saya kena batunya.
Jika membeli baju yang salah saja bisa membuat kita kecewa, mengapa memilih pasangan hidup sebegitu cepatnya?
Saya teringat humor yang sarat makna.
Salah makan: menyesal seharian, karena sakit perut. Salah potong rambut: menyesal sebulan untuk memanjangkannya kembali. Salah memilih pasangan hidup: menyesal seumur hidup karena tidak bisa diganti atau ditukarkan.
Salah satu—kalau tidak satu-satunya—pertimbangan utama kita adalah masalah keyakinan. Setiap agama menganjurkan, bahkan mewajibkan kita untuk menikah yang seagama. Sebagai orang beriman—bukan sekadar beragama—alangkah indahnya jika kita mematuhi hukum agama kita. Jika tidak, apa bedanya kita dengan orang yang tidak bertuhan?
2. Carilah yang kompatibel bukan kompetitif
Saya, istri, dan kedua anak saya memiliki hape dua merek saja. Saya dan dua anak laki-laki saya pakai iPhone, istri pakai Samsung. Saat bepergian, kami membawa power bank. Di mobil pun ada mobile charger yang kami colokkan di cigarette lighter socket. Saat menyetir, kami kadang dibuat jengkel jika berkali-kali gagal men-charge baterai kami. Mengapa? Karena kabel Sambung kami pakai untuk men-charge iPhone. Demikian juga sebaliknya.
Jika colokan Samsung saja tidak bisa dipakai untuk iPhone, demikian juga pasangan yang tidak cocok satu sama lain. Bukan saja hubungan tidak bisa harmonis, melainkan merusak satu sama lain. Pastikan menemukan pasangan yang kompatibel [cocok] dan bukan kompetitif [bersaing].
Ciri-ciri pasangan yang cocok adalah bisa saling mengalah satu sama lain.
Ketika ada perbedaan pandangan, diskusi dan kompromi lebih diutamakan ketimbang ngotot mempertahankan pendapat sendiri dan nyolot saat merasa tersudut.
Baca Juga: Ketika Cinta Benar-benar Bisa Membunuhmu, secara Harfiah
3. Meskipun kita tidak bisa menyenangkan semua orang, pandangan dan pendapat mereka layak untuk kita dengarkan.
“Wah, kalian cocok, lho!” Jangan sepelekan candaan atau godaan semacam ini.
Sering kali orang lain bisa melihat kita jauh lebih tajam ketimbang masing-masing kita melihat satu sama lain.
Mengapa? Karena kita terlalu dekat, sedangkan mereka melihat dari jarak tertentu.
Coba perhatikan saat kita memasang pigura di rumah. Kita butuh orang lain untuk melihat dari jarak jauh, bukan? Karena saat dilihat dari dekat, kemiringan sedikit tidak kelihatan. Meskipun pandangan orang lain belum tentu benar, tetapi jika yang mengatakan adalah orang-orang yang tidak punya vested interest, jangan pernah kita abaikan.
“Kayaknya hubungan kalian, kok, seperti anjing dan kucing.” Jangan keburu emosi jika ada yang mengatakan seperti ini. Jangan-jangan setiap kali bertemu kita, mereka melihat pertengkaran. Artinya, frekuensi pertengkaran jika cukup sering.
Jika sebelum menikah saja kita sudah banyak berkonflik, apakah kita berharap saat memasuki mahligai pernikahan tiba-tiba saja menjadi rukun? Jangan naiflah.