Hari tenang, hari berjalan baik-baik saja,

tiba-tiba ada sesuatu yang datang mengusik emosi dan rasanya ingin marah.

Tak ada angin, tak ada hujan, badai pun kunjung datang.

Dalam pekerjaan, dalam rumah tangga, dalam perjalanan, ada saja hal yang membuat amarah kita muncul.

Siapa sih yang tidak pernah terjebak dalam amarah? Saya rasa, semua orang pasti pernah marah. Banyak juga yang merasakan penyesalan setelah amarah terluapkan. Atau mungkin sudah terbiasa marah.

Hari ini, tiba-tiba saya harus meluapkan amarah karena urusan dengan beberapa akademisi di kampus. Dengan sadar, saya melihat ekspresi beberapa mahasiswa yang takut, merasa bersalah, bahkan tidak sedikit yang tampak kesal dan jengkel. Saya dapat merasakan apa yang mereka rasakan dari raut wajah mereka. Kalau boleh, saya akan mengatakan bahwa itu semua terlihat sangat lucu.

Setelah perbincangan dengan beberapa mahasiswa tersebut, saya masih mencoba untuk tenang. Walaupun perasaan saya masih bergejolak. Tak lama kemudian, saya tersadarkan dan saya mengatakan kepada rekan-rekan kerja saya, saya merasa bersalah atas emosi dan amarah saya.

Terkadang, tanpa alasan apa pun, orang bisa mendadak marah. Jika terjadi pada perempuan, sering kali hal itu dikaitkan dengan masa [datang bulan] yang umum. Padahal, belum tentu juga marah selalu berhubungan dengan masa-masa tersebut. Bisa jadi juga karena masalah-masalah yang belum terselesaikan, sehingga memuncak dan orang lain jadi sasaran amarah terpendam.

Akan tetapi, jujur kali ini saya merasa ingin marah tanpa alasan. Saya bersyukur bahwa saya masih diingatkan dalam pikiran saya bahwa: saya sedang marah; saya telah marah; saya selesai marah.

Ada banyak hal yang membuat orang menyadari dia sedang marah, tetapi ada juga yang tidak bisa menyadari bahwa dia telah selesai marah.

Saya bersyukur, karena marah mengajarkan saya beberapa hal: