Setiap istri pasti punya gambaran idealnya sendiri tentang sosok suami yang diharapkannya. Jika saya sekarang ini ditanya tentang suami idaman, tentu saja saya akan menjawab: Ya, suami saya sendiri. Share on X

Namun, dulu dia bukanlah tipe suami idaman saya. Itulah sebabnya kami sempat berhenti berpacaran di tahun ke-4 karena ternyata dia bukanlah tipe ideal saya. Sekarang setelah 8 tahun menikah, saya menetapkan hati dan menyadari bahwa yang ideal dari Tuhan buat saya: “Ya, suami saya!”

 

Beberapa waktu yang lalu, saya berkumpul-kumpul dengan beberapa teman perempuan. Obrolan kami adalah seputar suami masing-masing. Ada teman yang mengeluhkan kalau suaminya suka memutuskan segala sesuatu sendiri tanpa melibatkannya, tetapi kalau ada masalah di kemudian hari, dia jugalah yang harus ikut menanggung. Sampai hari-hari ini karena sudah tidak tahan dia mengancam, “Kalau kamu tetap ga mau nurut sama aku, aku akan pergi dari rumah!” Tetapi sepertinya ancaman teman saya ini tidak mempan karena suaminya tetap saja ngeyel. Apakah suami yang demikian akan diidam-idamkan oleh istrinya?

Ada lagi yang bercerita tentang bagaimana suaminya sering melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi, termasuk jika memberi uang kepada keluarga suaminya. Teman saya ini juga berpendapat bahwa suaminya lebih sayang kepada kemenakannya, daripada kepada anak sendiri. Suaminya lebih murah hati kepada orangtuanya, tetapi pelit terhadap istrinya. Sampai-sampai karena tak tahan teman saya berkata, “Mau pisah juga ga apa-apa!”

Teman saya juga bercerita bahwa dia selalu tampak buruk di hadapan mertua. Gara-garanya? Dia dianggap tidak mau membantu mertua. Tetapi sebenarnya teman saya ini bukannya tidak mau membantu mertua. Jika tampaknya dia enggan membantu mertua itu karena suaminya selalu sembunyi-sembunyi jika berniat memberikan sesuatu kepada orangtuanya. Menurut temanku, pelakor bukan hanya para wanita lain di luar sana. Pelakor di dalam rumah-tangganya adalah mertuanya sendiri. Jelas untuk saat ini, di matanya suaminya bukanlah tipe ideal sama sekali.

 

Karena kasus ini, saya jadi merenung sendiri. Saya menyimpulkan bahwa masalah yang terbesar di dalam rumah tangga bukanlah ketiadaan finansial atau kesulitan-kesulitan lain yang muncul dari luar

Masalah terbesar muncul ketika ketika yang harus dilawan dan yang menjadi musuh adalah suami sendiri.

Jelas, tak ada rumah tangga atau kehidupan suami-istri yang bebas konflik. Tetapi, apakah harus dengan kemunculan konflik, ancaman dan lain-lain barulah kita bisa menemukan suami idaman kita?

 

Dalam hal ini, saya ingin mengutarakan pendapat saya dari sudut pandang perempuan dan sebagai seorang istri. Sebagai seorang istri, mengapa saya merasa bahwa suami saya adalah suami idaman.

Apakah karena dia seorang suami yang sempurna? Jelas, tidak! Apakah karena kami tak pernah bertengkar? Pasti tidak mungkin! Lantas mengapa?

Bagi saya inilah jawabannya (walaupun para perempuan atau para istri yang lain mungkin memiliki jawaban mereka sendiri):

 

 

1. Suami Harus Berani Meminta Maaf

Suami idaman adalah suami yang mau mengakui kesalahannya dengan berani. Tentunya kita akan merasa jengkel jika bertemu dengan orang yang sudah salah masih saja berkeras tak mau mengaku salah. Terlebih lagi, kita akan semakin jengkel jika orang tersebut lebih senang “ngeles” ketimbang mengaku salah. Kejengkelan akan semakin parah kita rasakan jika ternyata orang yang menyebalkan itu adalah suami sendiri.
Dulu, suami saya juga seperti orang yang menjengkelkan itu. Dia tak pernah mau mengatakan ‘maaf’ ketika dia terbukti bersalah. Jika dalam suatu kasus dia diam saja ketika saya beragumentasi, maka berarti dia menyadari kalau dia salah. Namun, sebagai istri, saya tidak menyukai sikap seperti itu. Bagi saya, apa yang salah harus diakui.
Saya menangkap bahwa suami saya takut mengaku salah karena dia takut saya marah jika saya menangkap basah kesalahannya. Akhirnya, saya mengatakan demikian, “Memangnya kalau kamu diam saja ga akan buat istrimu makin sebel dan pengen ngamuk rasanya? Saya hanya butuh kamu bilang: ya, saya salah.”
Dia menjawab, “Nanti malah kamu ngamuk.”
Saya ganti menjawab, “Enggak! Jangan berasumsi!”  Dan saya pun selalu membuktikan bahwa saya tidak sembarangan mengamuk jika dia sudah mengaku.
Sekarang saya menghargai suami saya justru karena dia selalu bersikap gentleman dengan mengakui kesalahannya jika memang dia mengetahui bahwa dia bersalah.

Sebenarnya di dalam keluarga, kasusnya bukan masalah siapa yang salah atau siapa yang benar.

Namun, jika suami mengakui kesalahannya ini menunjukkan kebesaran hatinya. Jika suami mengaku salah, maka hal ini tak akan membuat suami menjadi lebih rendah dari istrinya.
Jadi, hai, para suami… janganlah takut untuk mengaku bahwa Anda salah jika memang anda salah. Sikap ini justru akan membuat Anda semakin dihargai sebagai suami.

 

 

2. Suami Menjadi Pemimpin Rumah Tangga yang Bisa Diandalkan

Ada banyak kali suami saya tak mau mengambil keputusan dan menyerahkannya kepada saya. Sampai suatu masa tanpa saya sadari saya sudah mengambil keputusan tanpa melibatkannya. Yang dulunya bukan masalah, sekarang jadi masalah. Suami yang terlalu pasif atau tak mau ribut pada akhirnya menerima saja setiap keputusan yang diambil istri.
Mula-mula itu dilakukan karena mungkin memang suami berusaha menghindarkan rumah-tangga dari pertengkaran. Tetapi sebenarnya itu justru bisa berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar suatu hari nanti.
Kadang-kadang memang suamilah yang justru menjadikan istrinya dominan. Padahal, saya tak mau menggantikan suami saya sebagai kepala rumah-tangga; karena itu saya belajar menahan diri untuk tidak memimpin rumah tangga kami. Ketika saya menahan diri dan mendorong suami saya maju, dia justru mendapatkan kepercayaan diri untuk memimpin rumah tangga kami. Meskipun banyak orang mengatakan bahwa saya lebih galak dibandingkan suami saya, tapi jangan salah … saya juga merasa takut dan menghormati suami saya.
Seingat saya, sudah lama kami tak pernah berdebat soal siapa pemimpin sebenarnya dalam rumah-tangga kami. Suami saya mengambil peran untuk memimpin kami (saya dan anak saya) terutama dalam hal-hal yang bersifat rohani dan kemudian berlanjut pada hal-hal yang lain.

Dia mau mendengar masukan saya dan kemudian mengambil keputusan yang lebih baik dibanding sebelum dia memertimbangkan masukan saya.

Dia pun bertanggungjawab atas keputusan yang sudah diambilnya dan kami pun bersepakat untuk menanggung akibatnya bersama-sama karena keputusannya telah kami setujui bersama.

 

 

3. Suami yang Romantis Sekaligus Tulus

Pada akhirnya, suami yang romantis mungkin akan jadi idaman. Namun, apa gunanya kalau romantismenya hanyalah karena ‘ada udang di balik batu’ alias ada maunya? Apa gunanya jika keromantisan itu hanya demi menutupi kesalahannya, misalnya?
Suami yang datang dengan kado dan bunga akan sangat diidamkan. tetapi apa gunanya jika ia tak menghargai istrinya dan tidak bersedia mendengar pendapatnya? Apa gunanya jika ia tidak berani mengakui kesalahan, tidak berani mengambil risiko dan tak mau memimpin hanya karena takut untuk membuat keputusan atau karena malas ribut?
Nah, bagaimana dengan Anda? Bagaimana tipe suami idaman Anda?

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here