Bagi kebanyakan perempuan lajang, pernikahan seolah-olah menjadi tujuan akhir. Angan-angan mereka adalah bertemu dengan seseorang, saling mencintai, berjalan bersama mengarungi kehidupan ini, dan berakhir dengan happy ending tentunya.

Namun, pernikahan yang sesungguhnya tidaklah seindah bayangan, Ferguso. Karena setelah tinggal bersama dan masa honeymoon berakhir, pasangan akan menghadapi kenyataan; kehidupan dengan segala hal baik dan buruknya.

Ketika pasangan tidak dipersiapkan untuk memasuki pernikahan dengan baik, masing-masing akan membawa bagasi masa lalu. Isi bagasi bisa berupa luka lama yang belum dibereskan, pola asuh yang salah dari orang tua, perceraian orang tua atau orang tua yang utuh tetapi tidak sepenuhnya hadir dan berperan.

Kemudian, mulai muncul banyak sisi dalam diri pasangan yang tidak diketahui sebelumnya. Pernikahan akan membuka satu demi satu fakta ‘baru’, dan ini memang wajar. Dari masalah yang sepele –seperti lalai mematikan lampu, melepas kaos kaki sembarangan– hingga masalah yang lebih berat –misalnya masalah pengendalian emosi. Belum lagi masalah kompleks yang sering terjadi di budaya kita, yaitu kehadiran dan keterlibatan mertua dan ipar.

Masalah selalu hadir dalam pernikahan. Namun, kita juga harus mengingat –dan yang diajarkan dalam keyakinan saya– bahwa pernikahan sebuah hubungan yang didasari oleh cinta dan komitmen untuk berjalan bersama dalam situasi apapun, selama keduanya masih dikaruniai hidup. Situasi apa pun, manis dan pahit, susah dan senang, harus dijalani bersama. Menyadari kebenaran ini, kita akan melihat pernikahan sebagai hal yang sangat serius dan tidak boleh dianggap enteng.

Lalu, bagaimana kalau ternyata pernikahan sudah tidak dapat dinikmati? Beberapa kali saya mendengar kalimat ini, “Aku bertahan dalam pernikahan ini demi anak-anak dan demi orang tuaku. Kasian mereka kalau aku bercerai.” Kalau bertahan hanya demi anak dan orang tua, artinya mereka lupa esensi dari pernikahan itu sendiri.

Pernikahan harus diperjuangkan. Pernikahan bukan untuk dijalani karena terpaksa bertahan. Pernikahan harus bisa dinikmati. Memang tidak semudah yang diucapkan, tapi prosesnya akan menjadi sebuah perjalanan yang sangat berarti.

Ada 3 alasan mengapa pernikahan layak dan sepatutnya diperjuangkan.

1. Anda sudah memilih dirinya dan sudah berjanji untuk menjalani hidup bersama.

Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Sebagai pribadi yang dewasa, kita harus berani menanggung konsekuensinya. Ketika musim dalam pernikahan Anda sedang tidak “manis”, ingatlah alasan mengapa Anda memilih untuk menikah dengan dia.

2. Pernikahan adalah proses peleburan “dua menjadi satu”

Dua pribadi berbeda disatukan; tidak mungkin semua lancar tanpa gesekan. Sering kali ego membuat kita tidak mau kalah dan menimbulkan perselisihan. Masing-masing merasa lebih benar dan tidak mau disalahkan.

Di sinilah kita sedang dibentuk menjadi pribadi yang lebih dewasa. Dan proses tentu tidak selalu nyaman. Namun, mari kita belajar merendahkan hati dan menelaah diri. Melewati lembah penuh air mata dan menanggung rasa sakit, tetaplah percaya, it’s all worth the fight.

3. Apabila sudah hadir anak dalam pernikahan, mereka akan sangat terdampak ketidakharmonisan hubungan orang tuanya

Anak-anak membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat. Anak-anak dari keluarga yang broken home kerap mengalami trauma dan gambar diri yang tidak utuh, akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua.

Serumit apapun keadaan pernikahan Anda, cobalah untuk mengurai dan membereskan masalah satu per satu. Jangan biarkan ada masalah yang tidak diselesaikan. Pilar terpenting dalam pernikahan adalah komunikasi dan keterbukaan. Bila diperlukan, carilah pertolongan konselor pernikahan.

Ketika Anda berpikir “nasi sudah menjadi bubur”, upayakan agar bubur itu menjadi enak. Berilah sedikit cakwe, potongan ayam, seledri, daun bawang, garam, dan merica. Niscaya, bubur Anda dapat dinikmati bersama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here