Tepat di hari ultah pernikahan kami yang ke-30, sebelum berangkat ke kantor, saya dan anak sulung kami mengantar istri saya ke rumah sakit. Di samping sakit perut, istri saya kontrol rutin. Sambil membaca pesan yang terus-menerus muncul di notifikasi hape saya, saya teringat dengan janji nikah yang kami ucapkan 30 tahun lalu. Tiba-tiba timbul kerinduan saya untuk berbagi di RR yang selama ini mempublikasikan tulisan saya yang berhubungan dengan relasi. Inilah tiga janji utama pernikahan kami.
In Plenty and In Want
Kami berjanji untuk tetap setia baik pada saat kaya maupun miskin. Sebagai pasangan muda saat itu, saya benar-benar merasakan perjuangan hidup. Begitu selesai kuliah saya merantau untuk memperoleh pekerjaan. Calon istri saya pun merantau. Di samping bekerja sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah bulanan, saya mengajar bahasa Inggris di sebuah kampus; sedangkan istri bekerja di rumah sakit.
Kami dipertemukan di kota pelajar itu. Ada satu hal yang saya ingat betul, meskipun hidup pas-pasan di rantau, istri saya selalu memberi yang terbaik untuk Tuhan. Suatu kali saat kantong kolekte diedarkan, uang di dompet istri tinggal satu lembar. Dia masukkan uang yang tinggal satu lembar itu. Saat kembali di kosnya dan bersih-bersih kamar, dia menemukan uang. Uangnya sendiri sih, tapi menemukannya di saat butuh sungguh merupakan pertolongan Tuhan.
In Joy and In Sorrow
Sejak saat itu, suka duka kami jalani bersama. Suatu kali kami terpaksa harus makan tempe goreng karena empal yang kami goreng gosong. Sebabnya sepele; saat kami asyik main halma, daging secuil yang kami rebus kehabisan air. Bukannya uring-uringan dan marah, kami malah tertawa terpingkal-pingkal. Betapa seringnya kita yang sudah berlebihan marah-marah kepada ART disebabkan karena masakan rusak.
Pada kesempatan lain—khususnya saat tugas di luar negeri—kami sempat tidak bisa menghabiskan makanan di depan kami karena ukuran steak di negeri Paman Sam dan Sashimi di Kanada jauh lebih besar ketimbang kemampuan perut kami untuk mencerna. Saat saya meminta seorang sahabat di Sydney yang mengundang saya bicara di sana untuk hanya memesankan steak satu untuk kami bertiga mengingat ukurannya yang jumbo, dia berkata, “Jangan. Jika tidak habis, tinggalkan saja.”
In Sickness and In Health
Saya beruntung memiliki istri yang mengenal obat-obatan, sehingga setiap kali sakit, saya tidak harus ke rumah sakit, kecuali parah. Istri saya selalu tahu obat apa yang cocok untuk saya. Begitu menginjakkan kami di bandara Narita, Tokyo, anak bungsu saya membeli minuman dingin di vending machine. Karena haus perbedaan suhu yang mencolok antara Indonesia dan Jepang membuat tenggorokan saya langsung meradang. “Minum ini,” ujar istri saya, “kalau terlambat tenggorokanmu bisa meradang.” Sorenya saya sudah bisa makan dengan normal.
Sebaliknya, dulu saya sering diminta istri untuk ngerokin punggungnya. Saya selalu ingin tertawa kalau mengingat hal itu. Karena seringkali ngerokin sambil lihat televisi, hasil kerokan saya amburadul. Bukannya seperti zebra yang rapi di punggung istri, tetapi seperti berbagai macam tanda baca. Sekarang istri lebih mengandalkan koyok ketimbang kerokan, sehingga tugas saya tinggal menempelkan saja ke punggungnya. Good for me!
30 Years Together
Hari ini, 27 September 2022, tepat 30 tahun kami menikah, saat menulis artikel ini, janji nikah itu masih terngiang-ngiang di telinga saya. Family resilience bukan hanya karena cinta tetapi juga komitmen. Itulah dua sisi mata uang yang berlaku secara universal agar setiap pasutri tetap bersama.
Kini, saat ada undangan bicara di luar negeri—khususnya yang jauh seperti Amerika dan Kanada—saya selalu mengajak istri untuk menemani saya. Saya seperti kehilangan satu sayap saat terbang ke negara lain. Bukan hanya tahun ini. Kiranya setiap tahun kami bisa terus menerapkan janji ini “till death do us part.” Sebagai konselor pranikah dan pernikahan, saya selalu membagikan pengalaman saya untuk tetap “stick together as long as we both shall live.”
That’s my only and ultimate dream!
Bless both of u Pak Xavier n Bu Susan. Mantap…