Tulisan ini tidak dibuat untuk menyalahkan pihak manapun. Karena saya pantang menulis sesuatu berdasarkan kisah sepihak (auto nyanyi: Is it trueee? Yes! Okay dokay yo!)
Jadi, akhir-akhir ini saya banyak mendengar kisah tentang perjalanan kisah Kaesang yang kandas dengan ‘mantan’ kekasihnya Felicia. Seperti biasa netizen langsung terbagi menjadi dua kubu: yang membela dan yang menghujat.
Yang membela pasti beranggapan: selama janur kuning belum melengkung, sah-sah aja dong berganti pasangan. Iya juga sih ya. Memang sebelum sampai ke jenjang pernikahan, putus nyambung pacaran itu masih sah-sah saja. Tapi yang menghujat akan berkata: masa sih anak orang digantungin tanpa kejelasan begitu saja, tiba-tiba menghilang tanpa kata dan mendadak muncul sudah ada gandengan baru.
Nah, sekali lagi saya tidak ingin membahas pihak mana yang benar atau pihak mana yang salah. Saya ingin membahasnya dari sudut pandang Kaesang, seorang anak Presiden.
Aku anak presiden
Menjadi anak presiden, tentu bukan keinginan seorang Kaesang ketika ia dilahirkan. Namun kini setelah Bapak Jokowi menjabat sebagai Presiden RI statusnya pun turut berubah. Begitu pula tanggung jawab dari profesi Ayahnya kini menurun pula pada anaknya.
Sama dengan beberapa kawan saya, menempel erat status sesuai profesi ayah mereka. Misalkan si A anak pendeta, si B anak pengusaha, si C anak guru. Beberapa profesi sang ayah bahkan menuntut tanggung jawab lebih besar dari anaknya untuk menjaga nama baik sang ayah.
Teman saya yang ayahnya seorang pendeta, cenderung harus lebih menjaga sikap dibandingkan teman lainnya. Karena salah sedikit pasti akan langsung muncul hujatan dari masayarakat: anaknya pendeta kok begitu sifatnya?
Lantas jika menjadi anak dari pendeta atau guru atau bahkan presiden, apakah anak ini tidak boleh tetap bersikap layaknya anak-anak pada umumnya? Apakah lantas mereka harus hidup sesuai dengan stigma yang diberikan masyarakat kepadanya?