Putus cinta memang menyakitkan. Tidak ada seorang pun yang berharap hubungan yang sedang dijalin akan berakhir dengan perpisahan. Namun, kenyataannya, berpisah dengan kekasih hati sering kali tak terelakkan; begitu pula luka batin yang tersisa. Tak sedikit pula luka itu menjadi kebencian dan kepahitan yang sulit diobati.
Beberapa waktu lalu, seorang teman datang dan bercerita tentang hubungan cintanya yang harus berakhir. Sejujurnya saya kurang suka mendengar kisah pilu perpisahannya. Saya tidak terlalu nyaman menyaksikan kesedihan dan emosi negatif yang dirasakannya akibat berakhirnya hubungan asmara.
Ternyata bukan hanya dia yang datang bercerita, sang mantannya pun merapat dan mulai curhat. Berawal dari pertemanan, kami menemukan rasa nyaman. Kami dapat saling memahami satu sama lain. Ia tak segan untuk membagikan kesedihannya, termasuk alasan di balik berakhirnya hubungan asmara mereka. Semakin sering berbagi, semakin intens komunikasi, cinta mulai bertunas dan terus bertumbuh di antara kami.
Putusnya cinta mereka dan tumbuhnya cinta kami menjadi sebuah masalah yang kompleks. Saya terjebak dalam dilema asmara.
Teman atau Mantan?
Haruskah saya memilih teman dan merelakan perasaan cinta yang telah bertumbuh dengan mantannya? Apakah salah bila saya melanjutkan hubungan dan memilih asmara dengan mantannya?
Teman adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup ini. Relasi yang cukup dekat dengannya membuat saya harus menutupi kenyataan bahwa saya menjalin hubungan dengan mantannya. Saya lebih banyak diam, masih ingin menjaga perasaannya. Saya masih tidak siap pertemanan ini menjadi tidak baik. Namun, ketika fakta itu tak lagi dapat disembunyikan, saya tak yakin dapat melepaskan pertemanan begitu saja demi memilih cinta.