Semalam, sebelum tidur, salah satu anak berkata,”Ma, Mama beneran hangat lho, Ma. Bener, ini lho kasurnya jadi hangat setelah Mama tiduran di sini.”

Saya tersenyum mendengarnya, hampir tergelak sebenarnya. Lucu. Perhatiannya pada hal kecil telah membanjiri hati saya dengan perasaan hangat.

Tidak akan selamanya ia seperti itu. Sangat memperhatikan saya, fokus dan menganggap saya dan papanya sebagai orang terfavoritnya. Tidak akan selamanya juga ia menjadi “milik kami”, yang bisa selalu kami dekap kapan pun kami ingin, dan dengan senang hati menantikan waktu-waktu bersama dengan kami.

Jadi, saya mau mensyukuri dan menikmati saat-saat seperti kemarin malam. Sebelum semuanya berakhir begitu cepat.

Jangan dikira momen-momen indah itulah yang menjadi warna utama dalam hari-hari saya sebagai mama. Seringkali momen indah itu terlewatkan, karena saya terlalu sibuk memikirkan menu makanan esok hari, terlalu sibuk mempersiapkan materi, dan terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya membuat mereka lebih diam supaya saya bisa bebas dari kegaduhan untuk sesaat.

Saya sering lupa bagaimana caranya menikmati kebersamaan kami. Saya sering sibuk memastikan semua berjalan baik dan tidak lagi melihat keindahan dalam perjalanan saya sebagai seorang istri dan seorang mama.

Barangkali kalau mau jujur, saya akan melihat diri saya sebagai sosok yang punya ambisi besar untuk mendapat predikat istri terbaik dan mama terhebat. Hasrat dan ambisi terbesar saya adalah selalu bisa menyenangkan suami dan bisa selalu memastikan anak-anak terasuh dengan baik.

Saya punya ambisi memastikan keluarga saya dalam kondisi yang baik. “Sudah tentu ambisi datang dengan sebuah harga,”demikian kata mentor dan dosen saya Paul Gunadi dalam sebuah perbincangan.

Ambisi tentu boleh ada, apalagi bila itu adalah hal yang positif bukan? Bukankah sudah seharusnya seorang istri dan seorang mama menginginkan dan melakukan yang terbaik bagi keluarganya? Di sisi lain, saya mesti mengingat, bukan istri dan mama yang sempurna yang mereka butuhkan, melainkan kehadiran diri saya yang apa adanya yang lebih mereka perlukan dan dambakan.

Untuk apa saya sibuk memastikan semua dalam keadaan baik, di saat ketidakpastian akan pasti menjadi bagian dari keseharian saya sebagai seorang ibu rumah tangga? Bukankah itu seperti usaha menjaring angin?

Hari ini saya mau mengingatkan diri bahwa mentari tidak sibuk memikirkan bagaimana menerangi dan menghangatkan dunia. Ia hanya selalu hadir dan menjadi dirinya. Melakukan bagiannya dengan setia. Mentari tak perlu serba bisa. Ia cukup ada di sana, menyinarkan terangnya yang menghangatkan.

Justru untuk itulah kita mensyukuri kehadirannya, bukan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here