“Apa kabar, Nov? Usahamu lancar?” tanya Mas Anang. Bukan suami sang diva, melainkan penjaga kos tempat saya tinggal sewaktu masih single dulu.
“Seret, Mas,” jawab saya singkat.
“Iyalah seret. Kondisi sekarang ini apa-apa serba susah,” sahutnya. Bukan pertama kali saya mendengar kalimat seperti ini. Entah sudah berapa kali, sepertinya sudah hampir setiap hari kalimat ini terdengar.
Ngomong-ngomong, siapa sih yang paling susah di tengah pandemi Covid-19 ini?
Ya … korban Covid-19 lah! Beserta keluarganya! Tentu saja. Siapa yang tak sedih harus terpisah dari keluarga, dikarantina, bahkan yang paling menyedihkan harus berpisah selamanya.
Tenaga medis, jawab sebagian orang. Mereka berjuang di garis terdepan dalam “peperangan” ini. Betul sekali.
Kaum menengah ke bawah, jawab sebagian lagi. Ah ya, kalau krisis ekonomi, mereka pasti jadi orang-orang yang paling merasakan dampaknya. Pemotongan gaji, PHK, semua itu isu yang kini kita dengar terjadi setiap hari.
“Sebetulnya, orang miskin masih lebih enak,” curhat seorang Bapak dengan ekonomi menengah. Beliau tidak kaya, miskin juga tidak. “Yang miskin itu langsung dapat perhatian dan bantuan. Lah, yang menengah ini lebih susah … Kelihatannya aja hidup cukup. Ada rumah, bahkan punya mobil. Tapi penghasilan nggak ada sama sekali dan nggak ada yang mau nolong.”
Pemerintah dong, sahut pihak lain. “Lu kira gampang jadi pemerintah? Sudah kerja keras juga tetap saja dihujat masyarakat.” Benar juga.
Kalau mau dilanjutkan, tak ada habisnya.
Semua orang, tanpa terkecuali, merasakan dampak Covid-19. Namun sebenarnya, orang yang paling menderita adalah mereka yang merasa dirinya paling susah.
Oleh karena itu, setiap hari dijalani dengan sungut-sungut, yang semakin menambah berat beban hidup.
Hal serupa berlaku sebaliknya. Orang paling bahagia bukan mereka yang kaya. Bukan mereka yang menerima banyak donasi dan sumbangan. Bukan mereka yang malah meraup keuntungan besar di tengah krisis.
Tahukah Anda, siapa yang paling bahagia?
Seperti dalam dongeng Putri Salju, saya rasa sebuah cermin, walau tidak ajaib, bisa memberikan jawaban.
Ketika saya memandangi cermin, saya memutuskan untuk melihat orang paling bahagia selama pandemi Covid-19 di sana.
Wajah orang yang turut merasakan gejolak dampak negatif pandemi Covid-19, tetapi tetap bersyukur dan belajar untuk cepat beradaptasi. Wajah orang yang hatinya teguh dan tetap beriman kepada Tuhan walaupun kesulitan menghadang.
Saya berharap, wajah-wajah bahagia itu terlihat di dalam rumah-rumah kita. Bagaimana menurut Anda?