Ternyata berkumpul dengan keluarga secara intens dan dalam waktu panjang dapat meningkatkan potensi pertengkaran. Stres, depresi, bosan, dan jenuh adalah beberapa faktor penyebab seseorang menjadi sensitif.
Tugas sehari-hari seperti mendidik anak, mengatur rumah, masak dan bersih-bersih rumah pun akhirnya menjadi pekerjaan bersama. Aturan yang tadinya telah berjalan, kini berubah total. Urusan rumah yang semula menjadi tanggung jawab istri, kini suami pun ikut mengaturnya dan anak-anak berperan di dalamnya. Akibatnya benturan pun terjadi, masing-masing anggota keluarga punya kemauan tertentu. Kebiasaan buruk makin nampak, emosi gampang mencuat tak terkendali.
Keharusan stay at home di masa ini memang dapat menimbulkan hal baik sekaligus hal buruk. Jika hal buruk itu lebih dominan, maka akan menjadi ancaman bagi sebuah rumah tangga. Lantas bagaimana kita mengatasinya? Cobalah dua hal ini.
Jangan anggap sebagai isolasi diri, tetapi sebuah petualangan baru dalam hidup
Bagi suami atau istri yang terbiasa kerja di kantor dari pagi hingga sore, kemudian harus bekerja dari rumah, tentu membutuhkan penyesuaian. Suasana kantor berbeda dengan suasana rumah, rekan sekantor beda dengan rekan di rumah, yaitu pasangan dan anak-anak kita. Aturannya pun berbeda antara kantor dan rumah.
Tak ayal jika perubahan besar ini membuat seseorang bagai terpenjara di rumah sendiri. Kebebasan seolah hilang, kebanggaan tidak ada lagi, dan hubungan sosial dengan rekan kerja maupun relasi terbatasi.
Sadari bahwa perubahan itu pasti harus terjadi, karena itu jangan terpaku dengan kondisi isolasi ini. Anggap saja sebuah petualangan baru dalam hidup. Bukankah dalam petualangan selalu muncul hal-hal baru yang mengejutkan?
Kebiasa-kebiasaan baru jika dijalani sebagai tantangan, maka akan membukan pintu kesempatan untuk menemukan makna hidup yang baru. Hal ini akan memperkaya relasi rumah tangga.